29 Maret 2009

KENAPA AL-QUR'AN TURUN SECARA BERANGSUR-ANGSUR?

Al-Qur'an diturunkan dalam tempo, menurut satu riwayat, 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada` tahun tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.
Proses turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw melalui tiga tahapan, yaitu:
Pertama, al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh , yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Q.S. al-Buruj (85) ayat 21–22, “Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam lauh al-mahfuzh”.
Diisyaratkan pula oleh firman Allah surat al-Waqi`ah (56) ayat 77—80, “Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam.”

Tahap kedua, al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan Allah dalam surat al-Qadar [97] ayat 1, “sungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malan kemuliaan.”
Juga diisyaratkan dalam Q.S. Surat ad-Dukhan [44] ayat 3, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.”
Tahap ketiga, al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Q.S. asy-Syu`ara’ [26] ayat 193–195, “……Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-`amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, tidak secara sekaligus melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan sering wahyu turun karena untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi saw. Di samping itu banyak pula ayat atau surat yang diturunkan tanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu.
Dalam kenyataan tersebut terkandung hikamah dan faidah yang besar, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran itu sendiri dalam Surat al-Furqan [25] ayat 32, “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).
Di samping hikmah yang telah diisyaratkan ayat di atas, masih banyak hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain adalah:
1. Memantapkan hati Nabi
Ketika menyampaikan dakwah, Nabi kerapkali berhadapan dengan para penentang. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan doroaikan dakwah. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah, Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). (QS. al-Furqan [25]:32).

2. Menentang dan melemahkan para penentang al-Qur'an
Nabi kerapkali berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur'an. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu mu`jizat al-Qur'an.

3. Memudahkan untuk dihapal dan difahami
Nabi Muhammad sangat merindukan turunnya wahyu. Saking rindunya, suatu ketika mengikuti bacaan wahyu yang disampaikan Jibril sebelum wahyu itu selesai dibacakannya. Karena itu, Allah berfirman, “Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha [20]:114) Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. al-Qiyamah [75]:6—9).
Di lain pihak, al-Qur'an pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat Arab yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Maka, turunnya wahyu secara berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalkannya.

4. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat al-Qur'an turun) dan melakukan pentahapan dalam penetapan aqidah yang benar, hukum-hukum syari`at, dan akhlak mulia. Hikmah ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. al-Isra’ [17]:106).

5. Membuktikan dengan pasti bahwa al-Qur'an turun dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Walaupun al-Qur'an turun secara berangsur-angsur dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, tetapi secara keseluruhan, terdapat keserasian di antara satu bagian dengan bagian al-Qur'an lainnya. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan Allah yang Maha Bijaksana.

TAFSIR BI AL-MA’TSUR & TAFSIR BI AL-RA’YI

TAFSIR BI AL-MA’TSUR & TAFSIR BI AL-RA’YI


PEMBAGIAN TAFSIR
Berdasarkan sumber:
 Tafsir bi al-Ma’tsur.
 Tafsir bi al-ra’yi.

Berdasarkan Metode:
 Tahlili (berdasar urutan mushaf)
 Muqaran (perbandingan)
 Ijmali (global)
 Maudhu’I (tematik)

Berdasarkan Corak:
 Fiqih Tasawuf
 Sejarah  Bahasa
 Tasawuf
 Ilmu Pengetahuan

Definisi Tafsir bi al-Ma’tsur
Penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan kepada penjelasan al-Qur’an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.


Otoritas Tafsir bi al-Ma’tsur
 Al-Qur’an. Contoh:
Penafsiran kata muttaqin pada surat 3: 133 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya.
 Hadits Nabi. Contoh:
Penafsiran Nabi terhadap kata ‘al-zulm’ pada surat surat 6:82 dengan pengertian syirik; Dan pengertian ungkapan ‘al-quwwah dengan al-ramy (panah) pada Q.S. 8:60.
 Penjelasan sahabat. Contoh:
Penafsiran Ibnu Abbas (w. 68/687) terhadap kandungan surat al-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi
 Penjelasan Tabi`in. Contoh:
Penafsiran tabi’in terhadap surat Surat ash-Shaffat [37]: 65 dengan sya’ir ‘Imr al-Qays


Contoh Kitab Tafsir bi al-Ma’tsur
 Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (w. 310/923),
 Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi (w. 685/1286),
 Al-Durr al Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911/1505),
 Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi (w. 817/1414), dan
 Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir (w. 774/1373)

Kelebihan Tafsir bi al-Ma’tsur
 Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
 Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
 Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subyektivitas yang berlebihan.

Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur
 Terjadi pemalsuan (wadh’) dalam tafsir.
 Masuknya unsur Israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nasrani yang masuk ke dalam penafsiran al-Qur’an.
 Penghilangan sanad
 Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur.

Definisi Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi (disebut juga tafsir bi al-dirayah)—sebagaimana didefinisikan Husen al-Dzahabi—adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya

Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
 Yang dapat Diterima (Mahmudah/Maqbulah)
 Yang tidak dapat diterima (Madzmumah/Mardudah)

Tafsir bi al-Ra’yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah)
Apabila menghindari hal-hal berikut:
 Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
 Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata).
 Menafsirkan al-Qur'an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
 Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
 Menafsirkan al-Qur'an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian… tanpa didukung dalil.

Contoh Kitab Tafsir bi al-Ra’yi
 Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H.)
 Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya al-Baidhawi (w. 691 H.)
 Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Takwil, karya an-Nasafi (w. 701 H.)

SELESAI
TERIMA KASIH

22 Maret 2009

PENGERTIAN ILMU TAFSIR & KEGUNAANNYA

AL-QURAN: PUSARAN KHAZANAH KEILMUAN
 Al-Qur’an adalah sekumpulan teks yang dijadikan sebagai sentral sejarah dan peradaban Islam, dan sekaligus sebagai dasar ilmu pengetahuan.
 Peradaban Islam pada dasarnya adalah kegiatan manusiawi yang banyak didialogkan dengan realitas, dan dari segi lain, peradaban itu didialogkan dengan teks (al-Qur’an).
 Karena itu, teks al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sentral peradaban, sentral ilmu dan pegangan keagamaan.
 interpretasi (tafsir) adalah salah satu mekanisme kebudayaan yang penting dalam memproduksi ilmu pengetahuan.

Perintah Merenungkan al-Qur’an
 Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman
kepadanya. (QS.al-Baqarah:121)
 Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad:24)
 Nabi bersabda, “Al-Qur’an adalah hidangan Allah di bumi-Nya, maka nikmatilah hidangan itu semampunya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)



Definisi Ilmu Tafsir
 هو علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل علي نبيه محمد (ص) وبيان معانيه وإستخراج أحكامه و حكمه .
Ilmu yang dengannya diketahui:
 maksud kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.
 Makna-makna al-Qur’an dapat dijelaskan
 Hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya dapat diketahui

Tujuan/Manfaat Ilmu Tafsir
 Mengetahui makna kata-kata dalam al-Qur’an
 Menjelaskan maksud setiap ayat
 Menyingkap hukum dan hikmah yang dikandung al-Qur’an
 Menyampaikan pembaca kepada maksud yang diinginkan oleh Syari` (pembuat syari`at), yaitu Allah SWT, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat

Ilmu-Ilmu yang Dibutuhkan dalam Penafsiran al-Qur’an (Ulum al-Qur’an)
 Ilmu Mawathin al-nuzul
 Ilmu Tawarikh
 Ilmu Asbab al-nuzul
 Ilmu Qira’at
 Ilmu tajwid
 Ilmu Gharib al-qur’an
 Ilmu I’rabil qur’an
 Ilmu Wujuh wa al-nazhair
 Ilmu Ma’rifat al-muhkam wa al-mutasyabih
 Ilmu Al-Nasikh wa al-Mansukh
 Ilmu Bada’I al-qur’an
 Ilmu I’jaz al-qur’an.
 Ilmu Tanasub ayat al-qur’an.
 Ilmu Aqsam al-qur’an.
 Ilmu Amtsal al-qur’an.
 Ilmu Jidal al-qur’an.
 Ilmu Adab al-tilawah al-qur’an

Sejarah Ilmu Tafsir
 Zaman Nabi
 Zaman Sahabat
 Zaman Tabi`in
 Zaman Keemasan Islam
 Zaman Kemunduran Islam
 Zaman Kemajuan Islam
 Zaman Modern

SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
 Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
 Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
 Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
 Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
 memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
 Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.

Adab Seorang Mufassir:
 Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata.
 Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
 Mengamalkan ilmunya.
 Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
 Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
 Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu.

SELESAI
TERIMA KASIH