Mencuatnya isu formalin menimbulkan banyak wacana, opini, dan renungan mulai dari kalangan rakyat sebagai korbannya sampai kepada pemerintah. Tak sedikit pula berbagai pakar menuangkan gagasannya tentang persoalan itu. Umumnya, wacana yang berkembang tentang formalin mengungkap sisi-sisi negatifnya, terutama wacana "hujatan" kepada para produsen yang menggunakan bahan yang membahayakan itu dalam produk makanannya. Nampaknya, sisi negatif dari isu formalin sudah cukup banyak dikemukakan. Daripada terus menerus membicarakan sisi negatifnya, kenapa kita tidak berusaha melihat sisi positifnya? Padahal, dalam segala peristiwa terdapat sisi negatif sekaligus sisi positifnya.
Bagi umat beragama, dengan menggunakan kacamata teologi, segala peristiwa yang Tuhan turunkan kepada manusia pasti mengandung sisi positif meskipun secara kasat mata tidak dapat menangkapnya. Ada ungkapan sangat bijak di kalangan sufi. Ungkapan itu berbunyi: `ayn al-bala' `atha'. Artinya setiap bencana kalau direnungkan dengan hati yang jernih sesungguhnya merupakan anugerah dari Tuhan. Maka, tidaklah heran apabila sebagian sufi justru mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan tatkala mendapat musibah, karena dalam kacamatanya di sanalah anugerah Tuhan berada. Dalam ungkapan Inggris kita mengenal ungkapan a blessing in disguise, artinya di sana ada karunia yang tersembunyi. Coba perhatikan, ternyata sebagian penemuan baru diawali dengan bencana.
Menemukan sisi positif dalam setiap bencana (musibah)—termasuk di dalamnya formalin—menjadi penting tidak saja dalam rangka mensikapi sebuah peristiwa secara holistik, tetapi juga sebagai ekspresi husnuzhzhan kita kepada ketentuan Tuhan. Yang terakhir ini sangat penting dalam kerangka religiusitas. Bagaimana kita memaknai isu formalin sehingga dapat menangkap sisi positifnya? Tulisan ini akan mencoba mengemukakan beberapa sisi positifnya minimal menurut penilaian penulis.
Pertama, isu formalin menyadarkan kita tentang perlunya memiliki etika dalam memilah dan memilih makanan. Sikap ini diharapkan akan menimbulkan mental memilih makanan yang berdimensi halalan-thayyiban. Makan tidak semata-mata memenuhi kebutuhan dasar biologis kita, tetapi juga bagaimana caranya pemenuhan kebutuhan itu ditunjang oleh nilai-nilai etis. Dalam perspektif Islam, nilai-nilai etis itu disebut dengan fiqhul ath'imah atau aturan-aturan dalam mengkonsumsi makanan. Hal ini perlu diperhatikan karena ada hubungan signifikan—jika tidak dikatakan hubungan kualitas—antara makanan yang dikonsumsi dengan kualitas aksi yang muncul. Mungkin inilah substansi pesan Nabi kepada kita agar senantiasa mengkonsumsi makanan yang halal, karena makanan halal itu akan menstimulus kita untuk melakukan aksi yang positif.
Sisi positif lainnya bagi konsumen, dan ini jangan dianggap enteng, kita tahu bahwa sebegitu minimnya kesadaran sebagian produsen makanan untuk menjajakan makanan yang sehat. Ini membuat kita berpikir jangan-jangan masih banyak makanan lain yang mengandung zat-zat yang membahayakan tanpa kita sadari bersama. Ini tentu saja kemudian mendorong kita untuk mencari banyak informasi tentang makanan atau minuman yang hendak kita beli. Ini sisi positif lainnya.
Kedua, isu formalin—mudah-mudahan—dapat menyadarkan para produsen makanan yang selama ini menggunakan bahan berbahaya itu bahwa mengambil keuntungan sendiri dengan merugikan orang lain bukanlah sikap yang terpuji. Mudah-mudahan mereka tahu juga lalu sadar bahwa nilai "keberkahan" dalam berbisnis sesungguhnya bukan terletak pada nilai keuntungan ansich, tetapi yang terpenting bagaimana keuntungan itu diperoleh dengan cara yang jujur dan tidak melanggar etika.
Mudah-mudahan mereka sadar pula bahwa agama pada dasarnya mengajarkan kita agar senantiasa memberikan kemaslahatan/kebaikan kepada orang lain, bukan malahan memberikan kemadaratan/keburukan. Berbisnis yang tidak jujur atau mengandung unsur yang merugikan orang lain sesungguhnya tidak pernah akan beruntung dari sudut pandang apapun—apalagi dari sudut pandang agama—meskipun mendatangkan "keuntungan" secara finansial.
Sekali lagi, mudah-mudahan mereka sadar bahwa bukan saja ongkos moral yang harus mereka bayar, tetapi juga ongkos sosial-ekonomi. Betapa tidak, tindakannya itu telah merugikan banyak pihak, mulai dari sesama pembisnis lainnya yang nota bene tidak tersangkut sama sekali dengan isu formalin, sampai kepada konsumen yang merasakan efek negatif bagi kesehatan tubuhnya. Isu ini pula mudah-mudahan berimplikasi efek jera kepada para pengusaha makanan lainnya.
Ketiga, isu formalin menyadarkan para pakar moral (baca: para penyampai materi agama/da'i/muballigh) untuk menyadarkan para produsen makanan —sekalian tolong pikirkan mekanismenya--bahwa berbisnis makanan tidak semata-mata dilihat dari perspektif economic-oriented, tetapi juga harus dilihat dari perspektif ibadah. Saya kira, pesan Nabi bahwa pedagang yang jujur akan memasuki surga bersama para nabi tidak semata-mata mengandung nilai eskatologis, tetapi yang terpenting mengandung pesan kejujuran dalam berdagang atau berbisnis. Sisi positif dari poin pertama ini adalah perlunya para da'i/muballigh menyisipkan pesan-pesan moral tentang spiritualitas berbisnis. Tema-tema yang berkaitan dengan ibadah sosial tidak kalah penting untuk diangkat dari tema-tema yang berkaitan dengan ibadah mahdhah. Sebab, ibadah mahdhah itu sendiri tidak dapat dipisahkan sama sekali dengan implikasi-implikasi sosial.
Keempat, isu formalin semakin menyadarkan pihak pemerintah untuk bersikap arif sekaligus bertindak cepat dalam menangani isu formalin dan juga isu-isu yang meresahkan rakyat lainnya. Maksudnya, lamban dalam menuntaskan isu itu hanya akan berdampak luas bagi kalangan usaha kecil menengah (UKM). Bayangkan hanya beberapa pekan saja bergulir, sejak isu penggunaan formalin dalam proses pembuatan produk makanan merebak, produsen mi basah, baso, tahu, ikan asin, dan produk makanan lainnya mengalami penurunan omzet lebih dari 50%. Isu ini telah menelantarkan kurang-lebih 6.000 pedagang baso di kota Bandung sekaligus anggota keluarganya (PR, 13-01-2006, hlm. 24). Itu baru sekala kota Bandung, lalu bagaimana dengan skala yang lebih besar lagi. Sisi opositif lainnya, pemerintah semakin menyadari pentingnya sosialisasi kepada rakyat tentang produk makanan yang selama ini banyak dikonsumsi rakyat, terutama rakyat kecil menengah yang awam dalam persoalan itu.
Oleh karena itu, melalui isu ini diharapkan pemerintah menjalankan fungsinya sebagai pengayom rakyat melalui kebijakan-kebijakan populisnya secara maksimal. Dalam kacamata Islam, peran pemerintah adalah sebagai produsen kemaslahatan-kemaslahatan rakyat (tawliyatul imam bir-ri`ayah manuthun bil mashlahah). Isu ini mudah-mudahan dijadikan sarana oleh pemerintah untuk menjalankan fungsinya itu secara optimal. Dengan demikian, diharapkan isu ini tidak diekspos dan sengaja dipelihara untuk memalingkan rakyat dari isu-isu besar lainnya yang sedang menggerogoti bangsa. Sebab bila—sekali lagi bila—itu yang terjadi, saya kira dampak negatif yang dimunculkan akan lebih besar lagi.
Kelima, isu formalin—mudah-mudahan—mendorong DPR sebagai badan legislatif untuk segera menggodok undang-undang yang lebih komprehensif dan populis yang melindungi konsumen sekaligus mengawasi produsen makanan. Komprehensif artinya produk undang-undang itu dilandasi oleh banyak perspektif, mulai kesehatan, etika moral, estetika, dan lain sebagainya. Populis artinya undang-undang itu menguntungkan berbagai pihak, mulai produsen sampai konsumen. Sambil menunggu produk aturan-aturan DPR yang memiliki efek jera bagi para produsen yang terlibat dalam isu formalin, alangkah baiknya kita sama-sama memikirkan pula yang hasilnya diharapkan sebagai bahan masukan bagi DPR.
Last but not least, isu formalin merupakan gejala sosial yang mengindikasikan banyak hal sekaligus pelajaran berharga bagi kita semua. Do with truth, not with vested interest!*** (Dr. Rosihon Anwar, dimuat di Majalah al-Hidayah, Edisi Maret, 2006)
*Penulis adalah dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
31 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar