03 Februari 2009

PRIBUMISASI ISLAM DALAM KONTEKS INDONESIA

Beberapa hari yang lalu (Senin, 6 Maret 2006) di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung diselenggarakan bedah buku yang berjudul Pribumisasi Islam: Ikhtiar untuk Menggagas Fiqih Kontekstual yang ditulis oleh Dr. Asep Saeful Muhtadi, M.A., terbitan Pustaka Setia Bandung. Ada banyak gagasan peting yang lahir dari bedah buku itu. Terlebih pembandingnya adalah tokoh yang memiliki background keilmuan yang berbeda-beda, yakni Prof. Dr. Dadang Kahmad, M.Si, pakar sosiologi agama dan Dr. Afif Muhammad, M.A., pakar teologi dan filsafat Islam. Di antara gagasan penting yang lahir adalah perlunya merumuskan ontologis dan kerangka operasional-epistimologis bagaimana pribumisasasi itu dilaksanakan.
Agar gagasan pribumisasi Islam ini tidak dipahami keliru, nampaknya perlu diberi catatan-catatan khusus. Dan tulisan ini akan mencoba melakukannya.
Gagasan Pribumisasi Islam pertama kali dimunculkan oleh Gus Dur pada tahun 90-an. Mainstream pemikiran Gus Dur tentang gagasan itu adalah bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing. Kata Gus Dur, "Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan..." (dalam Islam Pribumi, 2003). Merujuk kepada pemikiran antropolog Islam Akbar S. Ahmed, Islam yang bertemu dengan unsur lokal itu menyebabkan ekspresinya beragam. Islam menjadi akomodatif tanpa meremehkan kebudayaan lokal. Terlihat bahwa Gus Dur ingin mencoba melepaskan paket ajaran Islam yang sampai ke Indonesia dari unsur lokal Arab, untuk kemudian diganti dengan unsur lokal Indonesia. Produknya, ajaran "Assalamu `alaikum" diganti dengan ungkapan "Selamat Pagi" dan lain sebagainya.
Dalam ranah tafsir, ungkapan yang mirip pernah diperkenalkan oleh Quraish Shihab. Ungkapan yang dimaksud adalah "Membumikan Al-Qur'an". Dengan gagasan itu, Shihab ingin mencoba menarik penafsiran Al-Qur'an pada persoalan yang sedang dihadapi umat (on ground), bukan pada persoalan-persoalan yang mengawang-awang (out of ground). Orientasi penafsiran untuk masalah-masalah kemanusiaan seperti kemiskinan, penyakit masyarakat, bencana alam, misalnya, lebih membumi daripada orientasi penafsiran tentang bahasa Al-Qur'an, kisah dalam Al-Qur'an, perdebatan teologis, dan lain sebagainya. Orientasi yang terakhir memang mewarnai secara dominan produk-produk tafsir klasik. Proyek pembumian Al-Qur'an seperti ini sesungguhnya sudah digagas pertama kali oleh tokoh pembaharu dari Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905 M.), dengan memperkenalkan corak tafsir adabi-ijtima`i (sastra-budaya).
Dengan demikian, ada dua model pribumisasi Islam dalam tataran ontologis jika melihat gagasan kedua orang di atas. Jika Quraish Shihab menekankan tataran orientasi atau penekanan penafsiran Al-Qur'an/Islam, sedangkan Gus Dur lebih menelisik pada tataran kontruks ajaran Islam itu sendiri. Pribumisasi Islam model pertama nampaknya tidak mendapat kendala otokritik dari kalangan umat Islam. Kita memang sepakat bahwa tidak semua gagasan penafsiran terhadap Islam yang diproduksi oleh ulama-ulama klasik relevan dengan konteks Indonesia kekininian. Oleh karena itu, karus ada ikhtiar untuk menggagas produk-produk pemahaman baru terhadap Al-Qur'an/Islam dalam konteks solusi terhadap problem-problem kemanusiaan, sehingga Islam terasa membumi.
Menyangkut gagasan pribumisasi Islam model kedua, perlu diberi penegasan koridor yang jelas mana konstruks ajaran Islam yang harus dipisahkan dari unsur lokal Arab dan mana yang tidak. Di sini memang akan muncul banyak perdebatan tentang koridor yang dimaksud. Saya kasih contoh: Larangan makan dan minum sambil berdiri, mengucapkan "assalamu`alaikum", memakai sorban, makan dengan tiga jari, larangan melukis yang bernyawa, dan lain sebagainya merupakan ajaran Islam yang bercampur unsur lokal yang karenanya harus dipisahkan, atau merupakan built in ajaran Islam yang selayaknya diimplementasikan dalam konteks apa pun. Ada yang memahami bahwa ajaran-ajaran itu harus diterima tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lokal Arab. Selagi itu semua dilakukan atau diperintahkan oleh Rasul, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. Jadi, di sana tidak ada pribumisasi model Gus Dur. Ada pula yang memahami bahwa ajaran-ajaran itu harus dipahami dalam konteks budaya lokal Arab yang karenanya harus ada upaya pribumisasi. Nabi melarang makan sambil berdiri karena kebiasaan orang Arab makan secara bersamaan dalam satu wadah sehingga menyulitkan makan sambil berdiri. Nabi memakai gamis dan sorban karena pada musim-musim tertentu cuaca Arab sangat dingin. Nabi melarang melukis yang bernyawa karena dekatnya umat Islam saat itu dengan zaman berhala; dan seterusnya.
Perdebatan di atas nampaknya bermuara pada upaya pemilahan yang jelas mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat instrumen dan teknis. Yang pertama harus diterima sebagai sesuatu yang taken for granted, sedangkan yang kedua harus berubah sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam pembayaran zakat, yang substansinya adalah mengeluarkan harta sesuai dengan nishabnya, sedangkan teknisnya adalah transaksi secara berhadapan dengan `amilin. Dengan demikian, membayar zakat melalui ATM atau kasir di bank bukan merupakan sesuatu yang dilarang.
Namun, sekali lagi harus ada upaya yang lebih operasional dari para penggagas pribumisasi Islam untuk memberikan koridor mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat teknis-instrumen. Meskipun di sana pasti ada perdebatan, tetapi setidaknya ada upaya ijtihadi yang serius dan bertanggung jawab secara akademik. Jangan sampai gagasan pribumisasi Islam hanya sampai dalam tataran wacana dan tidak sampai pada tataran operasional. Dampaknya, di samping akan membingungkan umat, tetapi juga dikhawatirkan akan ada penolakan terhadap ajaran-ajaran Islam yang bersifat substantif. Kita tunggu tindak lanjut "proyek" pribumisasi Islam dari para penggagasnya.
Sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak-lanjuti, Indonesia dalam konteks kekinian sedang menghadapi problem kemanusiaan yang sangat akut. Islam/Al-Qur'an yang semenjak dini memperkenalkan dirinya sebagai petunjuk (guidance/hudan) semestinya memberi petunjuk bagaimana memecahkannya. Jadi, ada tugas besar yang harus dilakukan oleh para pemikir Islam daripada sekedar memperdebatkan isu "Bolehkah makan dan minum sambil berdir?" dan yang sejenis. Tugas yang dimaksud adalah bagaimana Al-Qur'an dan Hadits yang banyak memuat grand theories (teori-teori besar) diterjemahkan ke dalam konteks lokal Indonesia dengan memikirkan middle theory-nya, teori yang menjembatani antara Al-Qur'an dengan problem kemanusiaan. Dalam Al-Qur'an memang, misalnya, disinggung aspek pemerataan ekonomi rakyat tentang zakat. Zakat dapat menuntaskan problem ekonomi umat merupakan grand theory Al-Qur'an, tetapi bagaimana operasionalnya sampai kepada persoalan teknis membutuhkan pemikiran-pemikiran yang sangat serius, dibutuhkan perumusan middle theory-nya. Shalat dapat menangkis kerusakan moral (tanha ani-l fahsyai wa-l munkar) merupakan grand theory, tetapi bagaimana teknisnya memerlukan pemikiran-pemikiran tidak saja berdimensi fiqih, tetapi juga berdimensi sosiologi, antropologi, dan ekonomi. Memikirkan hal-hal yang terakhir lebih penting dan urgen untuk mensukseskan "Proyek" Pribumisasi Islam dalam kontek Indonesia mempersoalkan apakah memelihara janggut merupakan sunnah Nabi atau hanya tradisi masyarakat Arab. Berpikir bagaimana Islam memberi solusi bagi problem-problem bangsa seperti pengangguran, degradasi moralitas, penyakit masayarakat, dan lainnya lebih bernilai daripada berdebat tentang bolehkah ucapan salam diganti dengan selamat pagi. Pribumisasi Islam berarti menjadikan Islam sebagai solusi. Inilah makna penting ayat wa ma arsalnaka illa rahmatan lil `alamin.*** (Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 3-4-2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar