Al-Qur'an diturunkan dalam tempo, menurut satu riwayat, 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai dari malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada` tahun tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H.
Proses turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw melalui tiga tahapan, yaitu:
Pertama, al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh , yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Q.S. al-Buruj (85) ayat 21–22, “Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam lauh al-mahfuzh”.
Diisyaratkan pula oleh firman Allah surat al-Waqi`ah (56) ayat 77—80, “Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam.”
Tahap kedua, al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan Allah dalam surat al-Qadar [97] ayat 1, “sungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malan kemuliaan.”
Juga diisyaratkan dalam Q.S. Surat ad-Dukhan [44] ayat 3, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.”
Tahap ketiga, al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenai proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Q.S. asy-Syu`ara’ [26] ayat 193–195, “……Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-`amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, tidak secara sekaligus melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan sering wahyu turun karena untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi saw. Di samping itu banyak pula ayat atau surat yang diturunkan tanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu.
Dalam kenyataan tersebut terkandung hikamah dan faidah yang besar, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran itu sendiri dalam Surat al-Furqan [25] ayat 32, “Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).
Di samping hikmah yang telah diisyaratkan ayat di atas, masih banyak hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain adalah:
1. Memantapkan hati Nabi
Ketika menyampaikan dakwah, Nabi kerapkali berhadapan dengan para penentang. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan doroaikan dakwah. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah, Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). (QS. al-Furqan [25]:32).
2. Menentang dan melemahkan para penentang al-Qur'an
Nabi kerapkali berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Maka, turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan al-Qur'an. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu mu`jizat al-Qur'an.
3. Memudahkan untuk dihapal dan difahami
Nabi Muhammad sangat merindukan turunnya wahyu. Saking rindunya, suatu ketika mengikuti bacaan wahyu yang disampaikan Jibril sebelum wahyu itu selesai dibacakannya. Karena itu, Allah berfirman, “Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS. Thaha [20]:114) Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. al-Qiyamah [75]:6—9).
Di lain pihak, al-Qur'an pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat Arab yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Maka, turunnya wahyu secara berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalkannya.
4. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat al-Qur'an turun) dan melakukan pentahapan dalam penetapan aqidah yang benar, hukum-hukum syari`at, dan akhlak mulia. Hikmah ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. al-Isra’ [17]:106).
5. Membuktikan dengan pasti bahwa al-Qur'an turun dari Allah Yang Maha Bijaksana.
Walaupun al-Qur'an turun secara berangsur-angsur dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, tetapi secara keseluruhan, terdapat keserasian di antara satu bagian dengan bagian al-Qur'an lainnya. Hal ini tentunya hanya dapat dilakukan Allah yang Maha Bijaksana.
29 Maret 2009
TAFSIR BI AL-MA’TSUR & TAFSIR BI AL-RA’YI
TAFSIR BI AL-MA’TSUR & TAFSIR BI AL-RA’YI
PEMBAGIAN TAFSIR
Berdasarkan sumber:
Tafsir bi al-Ma’tsur.
Tafsir bi al-ra’yi.
Berdasarkan Metode:
Tahlili (berdasar urutan mushaf)
Muqaran (perbandingan)
Ijmali (global)
Maudhu’I (tematik)
Berdasarkan Corak:
Fiqih Tasawuf
Sejarah Bahasa
Tasawuf
Ilmu Pengetahuan
Definisi Tafsir bi al-Ma’tsur
Penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan kepada penjelasan al-Qur’an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.
Otoritas Tafsir bi al-Ma’tsur
Al-Qur’an. Contoh:
Penafsiran kata muttaqin pada surat 3: 133 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya.
Hadits Nabi. Contoh:
Penafsiran Nabi terhadap kata ‘al-zulm’ pada surat surat 6:82 dengan pengertian syirik; Dan pengertian ungkapan ‘al-quwwah dengan al-ramy (panah) pada Q.S. 8:60.
Penjelasan sahabat. Contoh:
Penafsiran Ibnu Abbas (w. 68/687) terhadap kandungan surat al-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi
Penjelasan Tabi`in. Contoh:
Penafsiran tabi’in terhadap surat Surat ash-Shaffat [37]: 65 dengan sya’ir ‘Imr al-Qays
Contoh Kitab Tafsir bi al-Ma’tsur
Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (w. 310/923),
Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi (w. 685/1286),
Al-Durr al Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911/1505),
Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi (w. 817/1414), dan
Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir (w. 774/1373)
Kelebihan Tafsir bi al-Ma’tsur
Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subyektivitas yang berlebihan.
Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur
Terjadi pemalsuan (wadh’) dalam tafsir.
Masuknya unsur Israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nasrani yang masuk ke dalam penafsiran al-Qur’an.
Penghilangan sanad
Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur.
Definisi Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi (disebut juga tafsir bi al-dirayah)—sebagaimana didefinisikan Husen al-Dzahabi—adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya
Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
Yang dapat Diterima (Mahmudah/Maqbulah)
Yang tidak dapat diterima (Madzmumah/Mardudah)
Tafsir bi al-Ra’yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah)
Apabila menghindari hal-hal berikut:
Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata).
Menafsirkan al-Qur'an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
Menafsirkan al-Qur'an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian… tanpa didukung dalil.
Contoh Kitab Tafsir bi al-Ra’yi
Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H.)
Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya al-Baidhawi (w. 691 H.)
Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Takwil, karya an-Nasafi (w. 701 H.)
SELESAI
TERIMA KASIH
PEMBAGIAN TAFSIR
Berdasarkan sumber:
Tafsir bi al-Ma’tsur.
Tafsir bi al-ra’yi.
Berdasarkan Metode:
Tahlili (berdasar urutan mushaf)
Muqaran (perbandingan)
Ijmali (global)
Maudhu’I (tematik)
Berdasarkan Corak:
Fiqih Tasawuf
Sejarah Bahasa
Tasawuf
Ilmu Pengetahuan
Definisi Tafsir bi al-Ma’tsur
Penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan kepada penjelasan al-Qur’an sendiri, penjelasan Rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, dan aqwal tabi’in.
Otoritas Tafsir bi al-Ma’tsur
Al-Qur’an. Contoh:
Penafsiran kata muttaqin pada surat 3: 133 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya.
Hadits Nabi. Contoh:
Penafsiran Nabi terhadap kata ‘al-zulm’ pada surat surat 6:82 dengan pengertian syirik; Dan pengertian ungkapan ‘al-quwwah dengan al-ramy (panah) pada Q.S. 8:60.
Penjelasan sahabat. Contoh:
Penafsiran Ibnu Abbas (w. 68/687) terhadap kandungan surat al-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi
Penjelasan Tabi`in. Contoh:
Penafsiran tabi’in terhadap surat Surat ash-Shaffat [37]: 65 dengan sya’ir ‘Imr al-Qays
Contoh Kitab Tafsir bi al-Ma’tsur
Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (w. 310/923),
Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi (w. 685/1286),
Al-Durr al Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911/1505),
Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi (w. 817/1414), dan
Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir (w. 774/1373)
Kelebihan Tafsir bi al-Ma’tsur
Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subyektivitas yang berlebihan.
Kelemahan Tafsir bi al-Ma’tsur
Terjadi pemalsuan (wadh’) dalam tafsir.
Masuknya unsur Israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nasrani yang masuk ke dalam penafsiran al-Qur’an.
Penghilangan sanad
Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur.
Definisi Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi (disebut juga tafsir bi al-dirayah)—sebagaimana didefinisikan Husen al-Dzahabi—adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya
Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi
Yang dapat Diterima (Mahmudah/Maqbulah)
Yang tidak dapat diterima (Madzmumah/Mardudah)
Tafsir bi al-Ra’yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah)
Apabila menghindari hal-hal berikut:
Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata).
Menafsirkan al-Qur'an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
Menafsirkan al-Qur'an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian… tanpa didukung dalil.
Contoh Kitab Tafsir bi al-Ra’yi
Mafatih al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H.)
Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil, karya al-Baidhawi (w. 691 H.)
Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Takwil, karya an-Nasafi (w. 701 H.)
SELESAI
TERIMA KASIH
22 Maret 2009
PENGERTIAN ILMU TAFSIR & KEGUNAANNYA
AL-QURAN: PUSARAN KHAZANAH KEILMUAN
Al-Qur’an adalah sekumpulan teks yang dijadikan sebagai sentral sejarah dan peradaban Islam, dan sekaligus sebagai dasar ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam pada dasarnya adalah kegiatan manusiawi yang banyak didialogkan dengan realitas, dan dari segi lain, peradaban itu didialogkan dengan teks (al-Qur’an).
Karena itu, teks al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sentral peradaban, sentral ilmu dan pegangan keagamaan.
interpretasi (tafsir) adalah salah satu mekanisme kebudayaan yang penting dalam memproduksi ilmu pengetahuan.
Perintah Merenungkan al-Qur’an
Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman
kepadanya. (QS.al-Baqarah:121)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad:24)
Nabi bersabda, “Al-Qur’an adalah hidangan Allah di bumi-Nya, maka nikmatilah hidangan itu semampunya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Definisi Ilmu Tafsir
هو علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل علي نبيه محمد (ص) وبيان معانيه وإستخراج أحكامه و حكمه .
Ilmu yang dengannya diketahui:
maksud kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.
Makna-makna al-Qur’an dapat dijelaskan
Hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya dapat diketahui
Tujuan/Manfaat Ilmu Tafsir
Mengetahui makna kata-kata dalam al-Qur’an
Menjelaskan maksud setiap ayat
Menyingkap hukum dan hikmah yang dikandung al-Qur’an
Menyampaikan pembaca kepada maksud yang diinginkan oleh Syari` (pembuat syari`at), yaitu Allah SWT, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat
Ilmu-Ilmu yang Dibutuhkan dalam Penafsiran al-Qur’an (Ulum al-Qur’an)
Ilmu Mawathin al-nuzul
Ilmu Tawarikh
Ilmu Asbab al-nuzul
Ilmu Qira’at
Ilmu tajwid
Ilmu Gharib al-qur’an
Ilmu I’rabil qur’an
Ilmu Wujuh wa al-nazhair
Ilmu Ma’rifat al-muhkam wa al-mutasyabih
Ilmu Al-Nasikh wa al-Mansukh
Ilmu Bada’I al-qur’an
Ilmu I’jaz al-qur’an.
Ilmu Tanasub ayat al-qur’an.
Ilmu Aqsam al-qur’an.
Ilmu Amtsal al-qur’an.
Ilmu Jidal al-qur’an.
Ilmu Adab al-tilawah al-qur’an
Sejarah Ilmu Tafsir
Zaman Nabi
Zaman Sahabat
Zaman Tabi`in
Zaman Keemasan Islam
Zaman Kemunduran Islam
Zaman Kemajuan Islam
Zaman Modern
SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adab Seorang Mufassir:
Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata.
Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
Mengamalkan ilmunya.
Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu.
SELESAI
TERIMA KASIH
Al-Qur’an adalah sekumpulan teks yang dijadikan sebagai sentral sejarah dan peradaban Islam, dan sekaligus sebagai dasar ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam pada dasarnya adalah kegiatan manusiawi yang banyak didialogkan dengan realitas, dan dari segi lain, peradaban itu didialogkan dengan teks (al-Qur’an).
Karena itu, teks al-Qur’an dapat dijadikan sebagai sentral peradaban, sentral ilmu dan pegangan keagamaan.
interpretasi (tafsir) adalah salah satu mekanisme kebudayaan yang penting dalam memproduksi ilmu pengetahuan.
Perintah Merenungkan al-Qur’an
Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka
membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman
kepadanya. (QS.al-Baqarah:121)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad:24)
Nabi bersabda, “Al-Qur’an adalah hidangan Allah di bumi-Nya, maka nikmatilah hidangan itu semampunya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Definisi Ilmu Tafsir
هو علم يعرف به فهم كتاب الله المنزل علي نبيه محمد (ص) وبيان معانيه وإستخراج أحكامه و حكمه .
Ilmu yang dengannya diketahui:
maksud kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw.
Makna-makna al-Qur’an dapat dijelaskan
Hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya dapat diketahui
Tujuan/Manfaat Ilmu Tafsir
Mengetahui makna kata-kata dalam al-Qur’an
Menjelaskan maksud setiap ayat
Menyingkap hukum dan hikmah yang dikandung al-Qur’an
Menyampaikan pembaca kepada maksud yang diinginkan oleh Syari` (pembuat syari`at), yaitu Allah SWT, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat
Ilmu-Ilmu yang Dibutuhkan dalam Penafsiran al-Qur’an (Ulum al-Qur’an)
Ilmu Mawathin al-nuzul
Ilmu Tawarikh
Ilmu Asbab al-nuzul
Ilmu Qira’at
Ilmu tajwid
Ilmu Gharib al-qur’an
Ilmu I’rabil qur’an
Ilmu Wujuh wa al-nazhair
Ilmu Ma’rifat al-muhkam wa al-mutasyabih
Ilmu Al-Nasikh wa al-Mansukh
Ilmu Bada’I al-qur’an
Ilmu I’jaz al-qur’an.
Ilmu Tanasub ayat al-qur’an.
Ilmu Aqsam al-qur’an.
Ilmu Amtsal al-qur’an.
Ilmu Jidal al-qur’an.
Ilmu Adab al-tilawah al-qur’an
Sejarah Ilmu Tafsir
Zaman Nabi
Zaman Sahabat
Zaman Tabi`in
Zaman Keemasan Islam
Zaman Kemunduran Islam
Zaman Kemajuan Islam
Zaman Modern
SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.
Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adab Seorang Mufassir:
Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata.
Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
Mengamalkan ilmunya.
Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu.
SELESAI
TERIMA KASIH
04 Februari 2009
BENARKAH ISLAM DISEBARKAN DENGAN PEDANG?
Beberapa hari ke belakang, media massa di Indonesia melaporkan tentang aksi protes para pemuka muslim di dunia, khususnya di Indonesia atas pernyataan Paus Benediktus XVI bahwa Nabi Muhammad saw. menyebarkan Islam dengan kekerasan. Ini merupakan gambaran stigmatik sebagaian tokoh Barat tentang Islam. Dan ini terus berulang. Bahkan, gambaran stigmatik serupa pernah menyeruak ke permukaan dalam kasus poster Nabi Muhammad. Tentu saja harus ada upaya pelurusan terhadap kekeliruan-keleliruan ini. Benarkah Islam disebarkan dengan pedang?
Islam sesungguhnya disebarkan dengan dakwah, bukan dengan pedang. Perhatikan argumentasi historis berikut:
Pertama, ketika berada di Mekkah untuk memulai dakwahnya, Nabi tidak disertai dengan senjata dan harta. Kendatipun demikian, banyak pemuka Mekkah seperti Abu Bakar, Utsman, Sa’ad ibn Waqqas, Zubair, Talhah, Umar bin al-Khattab, dan Hamzah yang masuk Islam. Mungkinkah untuk dikatakan bahwa mereka masuk ke dalam Islam dengan kekuatan?
Berkaitan dengan ini, Ustadz al-Aqqad, dalam buku ‘Abqariyyah Muhammad, mengatakan bahwa banyak orang Mekkah masuk Islam bukan karena tunduk kepada senjata, melainkan karena motivasi untuk mengorbankan jiwa raganya dalam mengangkat senjata demi jalan Allah.
Kedua, ketika Nabi dan para pengikutnya mendapat tekanan yang sangat berat dari kafir Quraisy, penduduk Madinah banyak yang masuk Islam dan mengundang Nabi serta pengikutnya hijrah ke Madinah. Mungkinkah Islam tersebar di Madinah dengan senjata?
Ketiga, pasukan Salib datang ke Timur ketika khalifah Bani `Abbas berada dalam masa kemunduran. Tak diduga, banyak anggota pasukan Salib tertarik kepada Islam dan kemudian menggabungkan diri dengan pasukan Salib lainnya. Thomas Arnold, dalam Al-Da’wah ila al-Islam, menyebutkan bahwa mereka masuk Islam setelah melihat kepahlawanan Salahuddin sebagai cerminan ajaran Islam. Mungkinkah Islam tersebar di kalangan pasukan Salib dengan senjata?
Keempat, pada abad VII H (XIII M) pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu memporak-porandakan Bagdad, ibu kota khilafah `Abbasiah, beserta peradaban yang dimiliki Islam. Mereka menghancurkan masjid-masjid, membakar kitab-kitab, membunuh para ulama, dan serentetan perbuatan sadis lainnya. Tahun 1258 merupakan lonceng kematian bagi khilafah `Abbasiah. Akan tetapi, sungguh mencengangkan bahwa di antara orang-orang Mongol sendiri yang menghancurkan pemerintahan Islam ternyata banyak yang memeluk Islam. Mungkinkah Islam tersebar di tengah-tengah orang Mongol dengan senjata?
Kelima, sejarah menjelaskan bahwa masa terpenting Islam adalah masa damai ketika diadakan perjanjian Hudaibiyah antara orang-orang Quraisy dan muslimin yang berlangsung selama dua tahun. Para sejarawan pun mengatakan bahwa orang yang masuk Islam pada masa itu lebih banyak daripada masa sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam banyak terjadi pada masa damai bukan masa peperangan.
Keenam, tidak ada kaitan antara penyebaran Islam dengan peperangan yang terjadi antara muslimin dengan Persia dan Romawi. Ketika peperangan antara mereka berkecamuk dan orang-orang Islam memperoleh kemenangan kemudian peperangan berhenti, pada saat itu para da’i menjelaskan bangunan, dasar, dan filsafah Islam. Dakwah Islam itu yang kemudian menyebabkan orang-orang non-Islam terutama mereka yang tertindas oleh penguasa mereka – masuk Islam.
Fage Roland Oliver, dalam bukunya A Short History of Africa, menjelaskan bahwa Islam tersebar di Afrika justru ketika daulah-daulah Islam di sana telah runtuh. Islam tersebar di sana melalui peradaban, pemikiran, dan dakwah Islamiyah. Karenanya, masuklah orang-orang Barbar ke dalam Islam yang kemudian nanti memainkan peranan penting dalam sejarah Islam.
Ketujuh, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia, dan Afrika. Kekuatan apa yang dibawa oleh para penyebar Islam di sana. Islam diajarkan oleh orang-orang dari Hadramaut yang mempunyai peradaban terbatas, tidak didukung oleh harta dan penguasa, dan atau Islam diajarkan oleh orang-orang Indonesia yang berwatakan Islam dalam kefakiran.
Kedelapan, peneliti keislaman Jerman Ilse Lictenstadter, dalam Islam and the Modern Age, mengatakan bahwa pilihan yang diberikan kepada Persia dan Romawi bukanlah antara Islam dan pedang, tetapi antara Islam dan jizyah.
Motivasi Peperangan Dalam Islam
Kenyataan bahwa sejarah Islam diwarnai dengan peperangan merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Bila Islam disebarkan dengan dakwah, lalu kenapa terjadi peperangan. Di antara motivasi peperangan dalam sejarah Islam adalah:
Pertama, mempertahankan jiwa raga. Seperti disebutkan dalam sejarah, sebelum hijrah orang-orang Islam belum diijinkan untuk berperang. Padahal umat Islam memperoleh berbagai siksaan dan tekanan dari kafir Quraisy. `Ammar, Bilal, Yasir, dan Abu Bakar adalah di antara mereka yang mendapat perlakuan keras itu.
Ketika perlakuan kafir Quraisy semakin keras dan Umat Islam meminta ijin kepada Nabi untuk berperang, Nabi belum juga mengijinkan karena belum ada suruhan dari Allah. Namun, ketika Nabi beserta pengikutnya hijrah ke Madinah dan kafir Quraisy bertekad untuk membebaskan kota itu dari Islam, maka Allah akhirnya–-karena demi membela diri orang-orang Islam sendiri– mengijinkan mereka berperang (QS. al-Hajj [22]:37). Kendatipun dengan beberapa persyaratan seperti demi jalan Allah, bukan demi harta atau prestise, mempertahankan diri, dan tidak berlebihan (QS. Al-Baqarah [2]:190). Semuanya itu menunjukkan bahwa pada dasarnya Islam tidak senang berperang.
Data historis yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hal di atas adalah penyebaran Islam ke Habsyi, sebuah kota yang tidak begitu jauh dari jazirah Arab dan kota yang pernah menjadi tujuan hijrah Nabi. Orang-orang Islam tidak pernah memerangi kota itu karena tidak mengancam keselamatan mereka. Bila penyebaran Islam dengan kekuatan, tentunya orang-orang Islam sudah menghancurkan kota itu. Seperti diketahui, umat Islam saat itu sudah memiliki angkatan laut yang cukup kuat. Namun, penyerangan itu pun tidak dilakukan. Ini juga membuktikan bahwa peperangan yang terjadi di kalangan orang-orang Islam hanyalah untuk mempertahankan diri dan tidak berlebih-lebihan.
Kedua, melindungi dakwah dan orang-orang lemah yang hendak memeluk Islam. Seperti diketahui bahwa dakwah yang dibawa Nabi memperoleh tantangan keras dari kafir Quraisy Mekkah. Mereka menempuh jalan apa saja untuk menghalanginya (QS. al-Fath [48]:25). Banyak kalangan penduduk Mekkah dan Arab lainnya bermaksud memeluk Islam, tetapi mereka takut terhadap ancaman itu. Allah lalu mengijinkan Rasul-Nya beserta pengikutnya untuk melindungi dakwah dengan cara berperang.
Ketiga, mempertahankan umat Islam dari serangan pasukan Persia dan Romawi. Keberhasilan dakwah Nabi dalam menyatukan kabilah-kabilah Arab di bawah bendera Islam ternyata dianggap ancaman oleh penguasa Persia dan Romawi–dua adikuasa saat itu. Itu sebabnya, mereka mengumumkan perang dengan umat Islam.
Tahun 629 M. Nabi mengutus satu kelompok berjumlah 15 orang ke perbatasan Timur Ardan untuk berdakwah, tetapi semuanya dibunuh atas perintah penguasa Romawi. Pada tahun 627 M. Farwah bin Umar al-Judzami, gubernur Romawi di Amman, memeluk Islam. Untuk itu, ia mengutus Mas’ud bin Sa’ad al-Judzami menghadap Nabi untuk menyampaikan hadiah. Ketika berita keislaman sampai ke telinga 49 orang-orang Romawi, mereka memaksa Farwah untuk keluar dari Islam, tetapi paksaan itu ditolaknya. Akibatnya, ia dipenjara dan akhirnya disalib.
Atas peristiwa-peristiwa itu dalam sejarah kemudian dikenal dengan kasus Beli dan demi melindungi umat Islam dari serangan-serangan Romawi dan Persia berikutnya. Nabi kemudian mengumumkan perang pula dengan mereka.
Berdasarkan uraian di atas, tidak ada satu ayat pun atau satu kejadian pun dalam sejarah permulaan Islam yang mengisyaratkan bahwa Islam disebarkan dengan peperangan (senjata). Peperangan yang terjadi hanyalah karena terpaksa untuk membela diri, melindungi dakwah dan kebebasan beragama, serta melindungi umat Islam dari serangan Romawi dan Persia. (Dimuat di Harian Umum Republika, 29 September 2006)
Islam sesungguhnya disebarkan dengan dakwah, bukan dengan pedang. Perhatikan argumentasi historis berikut:
Pertama, ketika berada di Mekkah untuk memulai dakwahnya, Nabi tidak disertai dengan senjata dan harta. Kendatipun demikian, banyak pemuka Mekkah seperti Abu Bakar, Utsman, Sa’ad ibn Waqqas, Zubair, Talhah, Umar bin al-Khattab, dan Hamzah yang masuk Islam. Mungkinkah untuk dikatakan bahwa mereka masuk ke dalam Islam dengan kekuatan?
Berkaitan dengan ini, Ustadz al-Aqqad, dalam buku ‘Abqariyyah Muhammad, mengatakan bahwa banyak orang Mekkah masuk Islam bukan karena tunduk kepada senjata, melainkan karena motivasi untuk mengorbankan jiwa raganya dalam mengangkat senjata demi jalan Allah.
Kedua, ketika Nabi dan para pengikutnya mendapat tekanan yang sangat berat dari kafir Quraisy, penduduk Madinah banyak yang masuk Islam dan mengundang Nabi serta pengikutnya hijrah ke Madinah. Mungkinkah Islam tersebar di Madinah dengan senjata?
Ketiga, pasukan Salib datang ke Timur ketika khalifah Bani `Abbas berada dalam masa kemunduran. Tak diduga, banyak anggota pasukan Salib tertarik kepada Islam dan kemudian menggabungkan diri dengan pasukan Salib lainnya. Thomas Arnold, dalam Al-Da’wah ila al-Islam, menyebutkan bahwa mereka masuk Islam setelah melihat kepahlawanan Salahuddin sebagai cerminan ajaran Islam. Mungkinkah Islam tersebar di kalangan pasukan Salib dengan senjata?
Keempat, pada abad VII H (XIII M) pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu memporak-porandakan Bagdad, ibu kota khilafah `Abbasiah, beserta peradaban yang dimiliki Islam. Mereka menghancurkan masjid-masjid, membakar kitab-kitab, membunuh para ulama, dan serentetan perbuatan sadis lainnya. Tahun 1258 merupakan lonceng kematian bagi khilafah `Abbasiah. Akan tetapi, sungguh mencengangkan bahwa di antara orang-orang Mongol sendiri yang menghancurkan pemerintahan Islam ternyata banyak yang memeluk Islam. Mungkinkah Islam tersebar di tengah-tengah orang Mongol dengan senjata?
Kelima, sejarah menjelaskan bahwa masa terpenting Islam adalah masa damai ketika diadakan perjanjian Hudaibiyah antara orang-orang Quraisy dan muslimin yang berlangsung selama dua tahun. Para sejarawan pun mengatakan bahwa orang yang masuk Islam pada masa itu lebih banyak daripada masa sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam banyak terjadi pada masa damai bukan masa peperangan.
Keenam, tidak ada kaitan antara penyebaran Islam dengan peperangan yang terjadi antara muslimin dengan Persia dan Romawi. Ketika peperangan antara mereka berkecamuk dan orang-orang Islam memperoleh kemenangan kemudian peperangan berhenti, pada saat itu para da’i menjelaskan bangunan, dasar, dan filsafah Islam. Dakwah Islam itu yang kemudian menyebabkan orang-orang non-Islam terutama mereka yang tertindas oleh penguasa mereka – masuk Islam.
Fage Roland Oliver, dalam bukunya A Short History of Africa, menjelaskan bahwa Islam tersebar di Afrika justru ketika daulah-daulah Islam di sana telah runtuh. Islam tersebar di sana melalui peradaban, pemikiran, dan dakwah Islamiyah. Karenanya, masuklah orang-orang Barbar ke dalam Islam yang kemudian nanti memainkan peranan penting dalam sejarah Islam.
Ketujuh, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia, dan Afrika. Kekuatan apa yang dibawa oleh para penyebar Islam di sana. Islam diajarkan oleh orang-orang dari Hadramaut yang mempunyai peradaban terbatas, tidak didukung oleh harta dan penguasa, dan atau Islam diajarkan oleh orang-orang Indonesia yang berwatakan Islam dalam kefakiran.
Kedelapan, peneliti keislaman Jerman Ilse Lictenstadter, dalam Islam and the Modern Age, mengatakan bahwa pilihan yang diberikan kepada Persia dan Romawi bukanlah antara Islam dan pedang, tetapi antara Islam dan jizyah.
Motivasi Peperangan Dalam Islam
Kenyataan bahwa sejarah Islam diwarnai dengan peperangan merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Bila Islam disebarkan dengan dakwah, lalu kenapa terjadi peperangan. Di antara motivasi peperangan dalam sejarah Islam adalah:
Pertama, mempertahankan jiwa raga. Seperti disebutkan dalam sejarah, sebelum hijrah orang-orang Islam belum diijinkan untuk berperang. Padahal umat Islam memperoleh berbagai siksaan dan tekanan dari kafir Quraisy. `Ammar, Bilal, Yasir, dan Abu Bakar adalah di antara mereka yang mendapat perlakuan keras itu.
Ketika perlakuan kafir Quraisy semakin keras dan Umat Islam meminta ijin kepada Nabi untuk berperang, Nabi belum juga mengijinkan karena belum ada suruhan dari Allah. Namun, ketika Nabi beserta pengikutnya hijrah ke Madinah dan kafir Quraisy bertekad untuk membebaskan kota itu dari Islam, maka Allah akhirnya–-karena demi membela diri orang-orang Islam sendiri– mengijinkan mereka berperang (QS. al-Hajj [22]:37). Kendatipun dengan beberapa persyaratan seperti demi jalan Allah, bukan demi harta atau prestise, mempertahankan diri, dan tidak berlebihan (QS. Al-Baqarah [2]:190). Semuanya itu menunjukkan bahwa pada dasarnya Islam tidak senang berperang.
Data historis yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hal di atas adalah penyebaran Islam ke Habsyi, sebuah kota yang tidak begitu jauh dari jazirah Arab dan kota yang pernah menjadi tujuan hijrah Nabi. Orang-orang Islam tidak pernah memerangi kota itu karena tidak mengancam keselamatan mereka. Bila penyebaran Islam dengan kekuatan, tentunya orang-orang Islam sudah menghancurkan kota itu. Seperti diketahui, umat Islam saat itu sudah memiliki angkatan laut yang cukup kuat. Namun, penyerangan itu pun tidak dilakukan. Ini juga membuktikan bahwa peperangan yang terjadi di kalangan orang-orang Islam hanyalah untuk mempertahankan diri dan tidak berlebih-lebihan.
Kedua, melindungi dakwah dan orang-orang lemah yang hendak memeluk Islam. Seperti diketahui bahwa dakwah yang dibawa Nabi memperoleh tantangan keras dari kafir Quraisy Mekkah. Mereka menempuh jalan apa saja untuk menghalanginya (QS. al-Fath [48]:25). Banyak kalangan penduduk Mekkah dan Arab lainnya bermaksud memeluk Islam, tetapi mereka takut terhadap ancaman itu. Allah lalu mengijinkan Rasul-Nya beserta pengikutnya untuk melindungi dakwah dengan cara berperang.
Ketiga, mempertahankan umat Islam dari serangan pasukan Persia dan Romawi. Keberhasilan dakwah Nabi dalam menyatukan kabilah-kabilah Arab di bawah bendera Islam ternyata dianggap ancaman oleh penguasa Persia dan Romawi–dua adikuasa saat itu. Itu sebabnya, mereka mengumumkan perang dengan umat Islam.
Tahun 629 M. Nabi mengutus satu kelompok berjumlah 15 orang ke perbatasan Timur Ardan untuk berdakwah, tetapi semuanya dibunuh atas perintah penguasa Romawi. Pada tahun 627 M. Farwah bin Umar al-Judzami, gubernur Romawi di Amman, memeluk Islam. Untuk itu, ia mengutus Mas’ud bin Sa’ad al-Judzami menghadap Nabi untuk menyampaikan hadiah. Ketika berita keislaman sampai ke telinga 49 orang-orang Romawi, mereka memaksa Farwah untuk keluar dari Islam, tetapi paksaan itu ditolaknya. Akibatnya, ia dipenjara dan akhirnya disalib.
Atas peristiwa-peristiwa itu dalam sejarah kemudian dikenal dengan kasus Beli dan demi melindungi umat Islam dari serangan-serangan Romawi dan Persia berikutnya. Nabi kemudian mengumumkan perang pula dengan mereka.
Berdasarkan uraian di atas, tidak ada satu ayat pun atau satu kejadian pun dalam sejarah permulaan Islam yang mengisyaratkan bahwa Islam disebarkan dengan peperangan (senjata). Peperangan yang terjadi hanyalah karena terpaksa untuk membela diri, melindungi dakwah dan kebebasan beragama, serta melindungi umat Islam dari serangan Romawi dan Persia. (Dimuat di Harian Umum Republika, 29 September 2006)
03 Februari 2009
PRIBUMISASI ISLAM DALAM KONTEKS INDONESIA
Beberapa hari yang lalu (Senin, 6 Maret 2006) di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung diselenggarakan bedah buku yang berjudul Pribumisasi Islam: Ikhtiar untuk Menggagas Fiqih Kontekstual yang ditulis oleh Dr. Asep Saeful Muhtadi, M.A., terbitan Pustaka Setia Bandung. Ada banyak gagasan peting yang lahir dari bedah buku itu. Terlebih pembandingnya adalah tokoh yang memiliki background keilmuan yang berbeda-beda, yakni Prof. Dr. Dadang Kahmad, M.Si, pakar sosiologi agama dan Dr. Afif Muhammad, M.A., pakar teologi dan filsafat Islam. Di antara gagasan penting yang lahir adalah perlunya merumuskan ontologis dan kerangka operasional-epistimologis bagaimana pribumisasasi itu dilaksanakan.
Agar gagasan pribumisasi Islam ini tidak dipahami keliru, nampaknya perlu diberi catatan-catatan khusus. Dan tulisan ini akan mencoba melakukannya.
Gagasan Pribumisasi Islam pertama kali dimunculkan oleh Gus Dur pada tahun 90-an. Mainstream pemikiran Gus Dur tentang gagasan itu adalah bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing. Kata Gus Dur, "Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan..." (dalam Islam Pribumi, 2003). Merujuk kepada pemikiran antropolog Islam Akbar S. Ahmed, Islam yang bertemu dengan unsur lokal itu menyebabkan ekspresinya beragam. Islam menjadi akomodatif tanpa meremehkan kebudayaan lokal. Terlihat bahwa Gus Dur ingin mencoba melepaskan paket ajaran Islam yang sampai ke Indonesia dari unsur lokal Arab, untuk kemudian diganti dengan unsur lokal Indonesia. Produknya, ajaran "Assalamu `alaikum" diganti dengan ungkapan "Selamat Pagi" dan lain sebagainya.
Dalam ranah tafsir, ungkapan yang mirip pernah diperkenalkan oleh Quraish Shihab. Ungkapan yang dimaksud adalah "Membumikan Al-Qur'an". Dengan gagasan itu, Shihab ingin mencoba menarik penafsiran Al-Qur'an pada persoalan yang sedang dihadapi umat (on ground), bukan pada persoalan-persoalan yang mengawang-awang (out of ground). Orientasi penafsiran untuk masalah-masalah kemanusiaan seperti kemiskinan, penyakit masyarakat, bencana alam, misalnya, lebih membumi daripada orientasi penafsiran tentang bahasa Al-Qur'an, kisah dalam Al-Qur'an, perdebatan teologis, dan lain sebagainya. Orientasi yang terakhir memang mewarnai secara dominan produk-produk tafsir klasik. Proyek pembumian Al-Qur'an seperti ini sesungguhnya sudah digagas pertama kali oleh tokoh pembaharu dari Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905 M.), dengan memperkenalkan corak tafsir adabi-ijtima`i (sastra-budaya).
Dengan demikian, ada dua model pribumisasi Islam dalam tataran ontologis jika melihat gagasan kedua orang di atas. Jika Quraish Shihab menekankan tataran orientasi atau penekanan penafsiran Al-Qur'an/Islam, sedangkan Gus Dur lebih menelisik pada tataran kontruks ajaran Islam itu sendiri. Pribumisasi Islam model pertama nampaknya tidak mendapat kendala otokritik dari kalangan umat Islam. Kita memang sepakat bahwa tidak semua gagasan penafsiran terhadap Islam yang diproduksi oleh ulama-ulama klasik relevan dengan konteks Indonesia kekininian. Oleh karena itu, karus ada ikhtiar untuk menggagas produk-produk pemahaman baru terhadap Al-Qur'an/Islam dalam konteks solusi terhadap problem-problem kemanusiaan, sehingga Islam terasa membumi.
Menyangkut gagasan pribumisasi Islam model kedua, perlu diberi penegasan koridor yang jelas mana konstruks ajaran Islam yang harus dipisahkan dari unsur lokal Arab dan mana yang tidak. Di sini memang akan muncul banyak perdebatan tentang koridor yang dimaksud. Saya kasih contoh: Larangan makan dan minum sambil berdiri, mengucapkan "assalamu`alaikum", memakai sorban, makan dengan tiga jari, larangan melukis yang bernyawa, dan lain sebagainya merupakan ajaran Islam yang bercampur unsur lokal yang karenanya harus dipisahkan, atau merupakan built in ajaran Islam yang selayaknya diimplementasikan dalam konteks apa pun. Ada yang memahami bahwa ajaran-ajaran itu harus diterima tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lokal Arab. Selagi itu semua dilakukan atau diperintahkan oleh Rasul, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. Jadi, di sana tidak ada pribumisasi model Gus Dur. Ada pula yang memahami bahwa ajaran-ajaran itu harus dipahami dalam konteks budaya lokal Arab yang karenanya harus ada upaya pribumisasi. Nabi melarang makan sambil berdiri karena kebiasaan orang Arab makan secara bersamaan dalam satu wadah sehingga menyulitkan makan sambil berdiri. Nabi memakai gamis dan sorban karena pada musim-musim tertentu cuaca Arab sangat dingin. Nabi melarang melukis yang bernyawa karena dekatnya umat Islam saat itu dengan zaman berhala; dan seterusnya.
Perdebatan di atas nampaknya bermuara pada upaya pemilahan yang jelas mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat instrumen dan teknis. Yang pertama harus diterima sebagai sesuatu yang taken for granted, sedangkan yang kedua harus berubah sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam pembayaran zakat, yang substansinya adalah mengeluarkan harta sesuai dengan nishabnya, sedangkan teknisnya adalah transaksi secara berhadapan dengan `amilin. Dengan demikian, membayar zakat melalui ATM atau kasir di bank bukan merupakan sesuatu yang dilarang.
Namun, sekali lagi harus ada upaya yang lebih operasional dari para penggagas pribumisasi Islam untuk memberikan koridor mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat teknis-instrumen. Meskipun di sana pasti ada perdebatan, tetapi setidaknya ada upaya ijtihadi yang serius dan bertanggung jawab secara akademik. Jangan sampai gagasan pribumisasi Islam hanya sampai dalam tataran wacana dan tidak sampai pada tataran operasional. Dampaknya, di samping akan membingungkan umat, tetapi juga dikhawatirkan akan ada penolakan terhadap ajaran-ajaran Islam yang bersifat substantif. Kita tunggu tindak lanjut "proyek" pribumisasi Islam dari para penggagasnya.
Sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak-lanjuti, Indonesia dalam konteks kekinian sedang menghadapi problem kemanusiaan yang sangat akut. Islam/Al-Qur'an yang semenjak dini memperkenalkan dirinya sebagai petunjuk (guidance/hudan) semestinya memberi petunjuk bagaimana memecahkannya. Jadi, ada tugas besar yang harus dilakukan oleh para pemikir Islam daripada sekedar memperdebatkan isu "Bolehkah makan dan minum sambil berdir?" dan yang sejenis. Tugas yang dimaksud adalah bagaimana Al-Qur'an dan Hadits yang banyak memuat grand theories (teori-teori besar) diterjemahkan ke dalam konteks lokal Indonesia dengan memikirkan middle theory-nya, teori yang menjembatani antara Al-Qur'an dengan problem kemanusiaan. Dalam Al-Qur'an memang, misalnya, disinggung aspek pemerataan ekonomi rakyat tentang zakat. Zakat dapat menuntaskan problem ekonomi umat merupakan grand theory Al-Qur'an, tetapi bagaimana operasionalnya sampai kepada persoalan teknis membutuhkan pemikiran-pemikiran yang sangat serius, dibutuhkan perumusan middle theory-nya. Shalat dapat menangkis kerusakan moral (tanha ani-l fahsyai wa-l munkar) merupakan grand theory, tetapi bagaimana teknisnya memerlukan pemikiran-pemikiran tidak saja berdimensi fiqih, tetapi juga berdimensi sosiologi, antropologi, dan ekonomi. Memikirkan hal-hal yang terakhir lebih penting dan urgen untuk mensukseskan "Proyek" Pribumisasi Islam dalam kontek Indonesia mempersoalkan apakah memelihara janggut merupakan sunnah Nabi atau hanya tradisi masyarakat Arab. Berpikir bagaimana Islam memberi solusi bagi problem-problem bangsa seperti pengangguran, degradasi moralitas, penyakit masayarakat, dan lainnya lebih bernilai daripada berdebat tentang bolehkah ucapan salam diganti dengan selamat pagi. Pribumisasi Islam berarti menjadikan Islam sebagai solusi. Inilah makna penting ayat wa ma arsalnaka illa rahmatan lil `alamin.*** (Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 3-4-2006)
Agar gagasan pribumisasi Islam ini tidak dipahami keliru, nampaknya perlu diberi catatan-catatan khusus. Dan tulisan ini akan mencoba melakukannya.
Gagasan Pribumisasi Islam pertama kali dimunculkan oleh Gus Dur pada tahun 90-an. Mainstream pemikiran Gus Dur tentang gagasan itu adalah bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing. Kata Gus Dur, "Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan..." (dalam Islam Pribumi, 2003). Merujuk kepada pemikiran antropolog Islam Akbar S. Ahmed, Islam yang bertemu dengan unsur lokal itu menyebabkan ekspresinya beragam. Islam menjadi akomodatif tanpa meremehkan kebudayaan lokal. Terlihat bahwa Gus Dur ingin mencoba melepaskan paket ajaran Islam yang sampai ke Indonesia dari unsur lokal Arab, untuk kemudian diganti dengan unsur lokal Indonesia. Produknya, ajaran "Assalamu `alaikum" diganti dengan ungkapan "Selamat Pagi" dan lain sebagainya.
Dalam ranah tafsir, ungkapan yang mirip pernah diperkenalkan oleh Quraish Shihab. Ungkapan yang dimaksud adalah "Membumikan Al-Qur'an". Dengan gagasan itu, Shihab ingin mencoba menarik penafsiran Al-Qur'an pada persoalan yang sedang dihadapi umat (on ground), bukan pada persoalan-persoalan yang mengawang-awang (out of ground). Orientasi penafsiran untuk masalah-masalah kemanusiaan seperti kemiskinan, penyakit masyarakat, bencana alam, misalnya, lebih membumi daripada orientasi penafsiran tentang bahasa Al-Qur'an, kisah dalam Al-Qur'an, perdebatan teologis, dan lain sebagainya. Orientasi yang terakhir memang mewarnai secara dominan produk-produk tafsir klasik. Proyek pembumian Al-Qur'an seperti ini sesungguhnya sudah digagas pertama kali oleh tokoh pembaharu dari Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905 M.), dengan memperkenalkan corak tafsir adabi-ijtima`i (sastra-budaya).
Dengan demikian, ada dua model pribumisasi Islam dalam tataran ontologis jika melihat gagasan kedua orang di atas. Jika Quraish Shihab menekankan tataran orientasi atau penekanan penafsiran Al-Qur'an/Islam, sedangkan Gus Dur lebih menelisik pada tataran kontruks ajaran Islam itu sendiri. Pribumisasi Islam model pertama nampaknya tidak mendapat kendala otokritik dari kalangan umat Islam. Kita memang sepakat bahwa tidak semua gagasan penafsiran terhadap Islam yang diproduksi oleh ulama-ulama klasik relevan dengan konteks Indonesia kekininian. Oleh karena itu, karus ada ikhtiar untuk menggagas produk-produk pemahaman baru terhadap Al-Qur'an/Islam dalam konteks solusi terhadap problem-problem kemanusiaan, sehingga Islam terasa membumi.
Menyangkut gagasan pribumisasi Islam model kedua, perlu diberi penegasan koridor yang jelas mana konstruks ajaran Islam yang harus dipisahkan dari unsur lokal Arab dan mana yang tidak. Di sini memang akan muncul banyak perdebatan tentang koridor yang dimaksud. Saya kasih contoh: Larangan makan dan minum sambil berdiri, mengucapkan "assalamu`alaikum", memakai sorban, makan dengan tiga jari, larangan melukis yang bernyawa, dan lain sebagainya merupakan ajaran Islam yang bercampur unsur lokal yang karenanya harus dipisahkan, atau merupakan built in ajaran Islam yang selayaknya diimplementasikan dalam konteks apa pun. Ada yang memahami bahwa ajaran-ajaran itu harus diterima tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lokal Arab. Selagi itu semua dilakukan atau diperintahkan oleh Rasul, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. Jadi, di sana tidak ada pribumisasi model Gus Dur. Ada pula yang memahami bahwa ajaran-ajaran itu harus dipahami dalam konteks budaya lokal Arab yang karenanya harus ada upaya pribumisasi. Nabi melarang makan sambil berdiri karena kebiasaan orang Arab makan secara bersamaan dalam satu wadah sehingga menyulitkan makan sambil berdiri. Nabi memakai gamis dan sorban karena pada musim-musim tertentu cuaca Arab sangat dingin. Nabi melarang melukis yang bernyawa karena dekatnya umat Islam saat itu dengan zaman berhala; dan seterusnya.
Perdebatan di atas nampaknya bermuara pada upaya pemilahan yang jelas mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat instrumen dan teknis. Yang pertama harus diterima sebagai sesuatu yang taken for granted, sedangkan yang kedua harus berubah sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam pembayaran zakat, yang substansinya adalah mengeluarkan harta sesuai dengan nishabnya, sedangkan teknisnya adalah transaksi secara berhadapan dengan `amilin. Dengan demikian, membayar zakat melalui ATM atau kasir di bank bukan merupakan sesuatu yang dilarang.
Namun, sekali lagi harus ada upaya yang lebih operasional dari para penggagas pribumisasi Islam untuk memberikan koridor mana ajaran Islam yang substantif dan mana yang bersifat teknis-instrumen. Meskipun di sana pasti ada perdebatan, tetapi setidaknya ada upaya ijtihadi yang serius dan bertanggung jawab secara akademik. Jangan sampai gagasan pribumisasi Islam hanya sampai dalam tataran wacana dan tidak sampai pada tataran operasional. Dampaknya, di samping akan membingungkan umat, tetapi juga dikhawatirkan akan ada penolakan terhadap ajaran-ajaran Islam yang bersifat substantif. Kita tunggu tindak lanjut "proyek" pribumisasi Islam dari para penggagasnya.
Sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak-lanjuti, Indonesia dalam konteks kekinian sedang menghadapi problem kemanusiaan yang sangat akut. Islam/Al-Qur'an yang semenjak dini memperkenalkan dirinya sebagai petunjuk (guidance/hudan) semestinya memberi petunjuk bagaimana memecahkannya. Jadi, ada tugas besar yang harus dilakukan oleh para pemikir Islam daripada sekedar memperdebatkan isu "Bolehkah makan dan minum sambil berdir?" dan yang sejenis. Tugas yang dimaksud adalah bagaimana Al-Qur'an dan Hadits yang banyak memuat grand theories (teori-teori besar) diterjemahkan ke dalam konteks lokal Indonesia dengan memikirkan middle theory-nya, teori yang menjembatani antara Al-Qur'an dengan problem kemanusiaan. Dalam Al-Qur'an memang, misalnya, disinggung aspek pemerataan ekonomi rakyat tentang zakat. Zakat dapat menuntaskan problem ekonomi umat merupakan grand theory Al-Qur'an, tetapi bagaimana operasionalnya sampai kepada persoalan teknis membutuhkan pemikiran-pemikiran yang sangat serius, dibutuhkan perumusan middle theory-nya. Shalat dapat menangkis kerusakan moral (tanha ani-l fahsyai wa-l munkar) merupakan grand theory, tetapi bagaimana teknisnya memerlukan pemikiran-pemikiran tidak saja berdimensi fiqih, tetapi juga berdimensi sosiologi, antropologi, dan ekonomi. Memikirkan hal-hal yang terakhir lebih penting dan urgen untuk mensukseskan "Proyek" Pribumisasi Islam dalam kontek Indonesia mempersoalkan apakah memelihara janggut merupakan sunnah Nabi atau hanya tradisi masyarakat Arab. Berpikir bagaimana Islam memberi solusi bagi problem-problem bangsa seperti pengangguran, degradasi moralitas, penyakit masayarakat, dan lainnya lebih bernilai daripada berdebat tentang bolehkah ucapan salam diganti dengan selamat pagi. Pribumisasi Islam berarti menjadikan Islam sebagai solusi. Inilah makna penting ayat wa ma arsalnaka illa rahmatan lil `alamin.*** (Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 3-4-2006)
PORNOGRAFI DAN NORMA UNIVERSAL
Mencuatnya isu akan terbitnya majalah Playboy--yang dikelola kerajaan bisnis Hugh Heffner dari Amerika Serikat (AS)—versi bahasa Indonesia semakin meramaikan kontroversi pornografi. Dua kubu yang berseberangan pun tetap menggunakan kacamatanya masing-masing. Kubu yang tidak setuju dengan terbitnya majalah ini menggunakan kacama norma, terutama norma agama. Dengan kacamata inilah ORMAS-ORMAS Islam mengobarkan "perang" terhadap rencana itu. Menghadapi isu ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), misalnya, akan melansir gerakan antipornografi bersamaan dengan kongres Muslimat Nahdlatul Ulama di Batam Maret mendatang. "PBNU sudah minta kepada Pengurus Pusat Muslimat NU supaya di dalam kongresnya pada Maret di Batam melansir gerakan antipornografi, sehingga penerbitan (majalah) ini akan menjadi titik tolak gerakan moral," demikian kata Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi mengatakan hal itu di Jakarta, beberapa hari yang lalu.
Pimpinan Muhammadiyah mengimbau penerbit Playboy edisi bahasa Indonesia menghentikan rencananya untuk mencegah timbulnya reaksi keras dari masyarakat, khususnya umat Islam, karena penerbitan majalah itu akan menjadi pemicu bagi ketidaksabaran umat atas pornografi dan pornoaksi yang kini semakin merebak. Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahkan meminta kepada Menkominfo, polisi, KPI dan DPR agar mengambil langkah-langkah penertiban supaya tidak muncul konflik yang tidak diinginkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, prihatin terhadap bakal diterbitkannya majalah Playboy edisi Indonesia, dan meminta pemerintah melarang terbitan bernuansa pornografi semacam itu. "Pemerintah seharusnya bertindak, melarang terbitan-terbitan semacam itu, karena jika tidak hanya akan menimbulkan gejolak di masyarakat dan bisa memancing ke arah anarkis dari umat yang menolak," kata Ketua MUI, KH Ma`ruf Amin, di Jakarta, beberapa hari yang lalu. (ANTARA News).
Sementara kubu yang setuju dengan rencana itu menggunakan kacamata seni. Dengan kacamata ini, kubu yang setuju atau tidak menentang, memasukkan pornografi dalam wilayah hak individu untuk mengeskpresikan rasa seninya. Jadi, tak ada salahnya seseorang mengekspresikan aksi pornografi dalam berbagai media, termasuk media majalah Playboy. Kebebasan berekspresi itu adalah hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin undang-undang.
"Perseteruan" antara dua kubu terus berlangsung dalam relung-relung sejarah dengan instrumen berupa kasus-kasus yang berbeda. Tengoklah "perseteruan" antara Raja Dangdut H. Rhoma Irama—mewakili kubu pertama—dengan si Ratu Ngebor Inul Daratista—mewakili kubu kedua. Tengok pula "perseteruan" antara MUI dengan insan perfilm-an dalam kasus film komedi remaja Buruan Cium Gue! beberapa tahun yang lalu.
Mencari Norma Universal
Pertanyaan yang paling mendasar adalah "mungkinkah mencari titik temu antara kedua kubu yang saling berseberangan itu?" Atau, "Bisakah norma agama dan seni bertemu dalam kasus pornografi?" Menjawab pertanyaan ini berarti mencari relasi antara norma dan kebebasan berekspresi. Mana yang harus dikedepankan? Bisakah kebebasan berkespresi dilepaskan dari norma?
Dalam konteks Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya beragama, nampaknya sulit memisahkan norma dengan aktivitas kehidupan, terutama yang menyentuh ranah ruang publik, ruang di mana segala ekspresi dapat diakses oleh orang banyak, bukan ruang frivasi. Indonesia bukan negara sekuler di mana setiap rakyatnya bebas mengespresikan segala sesuatu sebebas-bebasnya. Ada kode etik yang harus dilaksanakan bersama yang dinamakan norma. Dengan kata lain, kebebasan berekspresi tidak dapat dilepaskan dari norma.
Namun persoalannya adalah norma mana yang harus dianut? Indonesia adalah negara multiagama yang berarti ada banyak norma yang berlaku di Indonesia. Belum lagi jika kita melihat norma-norma lokal dan adat setempat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap norma memiliki ruangnya masing-masing. Di sana ada relativitas. Jadi, meskipun norma diusung bersama, tetapi di sana ada ruang relativitas: Norma agama mana? Norma adat yang mana? Bijakkah memaksakan suatu norma agama tertentu kepada pemeluk agama lain? Apakah suatu komunitas dikatakan melanggar jika menerapkan norma yang dianutnya, yang notabene bertolak belakang dengan norma yang dianut oleh komunitas di luarnya?
Atas dasar itu, kita perlu mencari norma universal, norma lintas agama dan adat, norma yang dianut bersama. Bagaimanakah caranya? Pertama, para tokoh agama dan adat berkumpul bersama merumuskan norma-norma universal tentang apa saja, bukan hanya tentang pornografi dan pornoaksi. Setiap agama pasti membawa pesan-pesan moral universal. Norma universal inillah yang kemudian disepakati kalau perlu dikodifikasikan dan dikompilasikan untuk kemudian menjadi aturan yang mengikat semua warga negara Indonesia. Ada sangsi-sangsi tertentu bagi setiap yang melanggarnya. Kedua, DPR—sebagai wakil rakyat—segera menyusun Undang-Undang tentang pornografi. Di sinilah relevansi RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Dalam norma universal itu diharapkan kita menemukan jawaban: Bagaimana norma mengatur kebebasan berekspresi? Adakah pornografi yang sesuai dengan norma universal?
Norma yang Tidak Pandang Bulu
Mengatasnamakan norma universal untuk menentang pornografi dan terbitnya majalah Playboy tidak akan bermakna kalau norma itu berlaku pandang bulu. Artinya, seharusnya norma yang sama secara adil diterapkan kepada berbagai media yang sepadan atau lebih parah dari—umpamanya—media majalah Playboy. Tidak ada parsialitas di sana. Tidak bijak kita "menyerang" dengan keras isu pornografi tertentu, sementara isu pornografi yang lain dibiarkan, sehingga terkesan pandang bulu.
Bahkan, dengan atas norma universal, ada titik bidik lain yang harus kita incar yang lebih keras dari pornografi, misalnya pelanggaran terhadap perampasan hak orang lain, merusak lingkungan, mencuri uang negara, melacurkan agama, dan lain sebagainya. Mana yang paling banyak mendatangkan madarat bagi orang banyak? Kepada yang paling banyak membawakan dampak negatif, kita harus melancarkan "perang" lebih sengit.
Norma tidak pandang bulu berarti pula introspeksi diri. Bayangkan, seandainya ada seseorang yang menyerang habis-habisan pornografi, sementara ia sendiri pada saat yang bersama melanggar norma yang lebih besar dari pornografi. Betapa hipokritnya orang itu. Jangan sampai terjadi CD-CD porno yang dijajakan oleh para pedagang kaki lima, yang mengandalkan mata pencahariannya dari sana, dirampas dan dibakar, sementara CD yang sama atau lebih "panas" diputar dengan bebasnya di kamar-kamar kita. See what's wrong in ourself, not in others!
Pamungkas, mencuatnya isu pornografi dan pornoaksi semoga mengingatkan banyak pihak tentang pentingnya melihat sebuah persoalan dari banyak perspektif, tidak hanya dari satu perspektif. Sekali satu norma sudah disepakati, maka hal itu harus dianut dan dilaksanakan secara konsekuen dan tidak pandang bulu. Mari kita berbuat atas nama kebenaran, bukan atas nama kepentingan. Do with truth, not with vested interest!*** (Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 20 Maret 2006)
Pimpinan Muhammadiyah mengimbau penerbit Playboy edisi bahasa Indonesia menghentikan rencananya untuk mencegah timbulnya reaksi keras dari masyarakat, khususnya umat Islam, karena penerbitan majalah itu akan menjadi pemicu bagi ketidaksabaran umat atas pornografi dan pornoaksi yang kini semakin merebak. Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahkan meminta kepada Menkominfo, polisi, KPI dan DPR agar mengambil langkah-langkah penertiban supaya tidak muncul konflik yang tidak diinginkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, prihatin terhadap bakal diterbitkannya majalah Playboy edisi Indonesia, dan meminta pemerintah melarang terbitan bernuansa pornografi semacam itu. "Pemerintah seharusnya bertindak, melarang terbitan-terbitan semacam itu, karena jika tidak hanya akan menimbulkan gejolak di masyarakat dan bisa memancing ke arah anarkis dari umat yang menolak," kata Ketua MUI, KH Ma`ruf Amin, di Jakarta, beberapa hari yang lalu. (ANTARA News).
Sementara kubu yang setuju dengan rencana itu menggunakan kacamata seni. Dengan kacamata ini, kubu yang setuju atau tidak menentang, memasukkan pornografi dalam wilayah hak individu untuk mengeskpresikan rasa seninya. Jadi, tak ada salahnya seseorang mengekspresikan aksi pornografi dalam berbagai media, termasuk media majalah Playboy. Kebebasan berekspresi itu adalah hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin undang-undang.
"Perseteruan" antara dua kubu terus berlangsung dalam relung-relung sejarah dengan instrumen berupa kasus-kasus yang berbeda. Tengoklah "perseteruan" antara Raja Dangdut H. Rhoma Irama—mewakili kubu pertama—dengan si Ratu Ngebor Inul Daratista—mewakili kubu kedua. Tengok pula "perseteruan" antara MUI dengan insan perfilm-an dalam kasus film komedi remaja Buruan Cium Gue! beberapa tahun yang lalu.
Mencari Norma Universal
Pertanyaan yang paling mendasar adalah "mungkinkah mencari titik temu antara kedua kubu yang saling berseberangan itu?" Atau, "Bisakah norma agama dan seni bertemu dalam kasus pornografi?" Menjawab pertanyaan ini berarti mencari relasi antara norma dan kebebasan berekspresi. Mana yang harus dikedepankan? Bisakah kebebasan berkespresi dilepaskan dari norma?
Dalam konteks Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya beragama, nampaknya sulit memisahkan norma dengan aktivitas kehidupan, terutama yang menyentuh ranah ruang publik, ruang di mana segala ekspresi dapat diakses oleh orang banyak, bukan ruang frivasi. Indonesia bukan negara sekuler di mana setiap rakyatnya bebas mengespresikan segala sesuatu sebebas-bebasnya. Ada kode etik yang harus dilaksanakan bersama yang dinamakan norma. Dengan kata lain, kebebasan berekspresi tidak dapat dilepaskan dari norma.
Namun persoalannya adalah norma mana yang harus dianut? Indonesia adalah negara multiagama yang berarti ada banyak norma yang berlaku di Indonesia. Belum lagi jika kita melihat norma-norma lokal dan adat setempat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap norma memiliki ruangnya masing-masing. Di sana ada relativitas. Jadi, meskipun norma diusung bersama, tetapi di sana ada ruang relativitas: Norma agama mana? Norma adat yang mana? Bijakkah memaksakan suatu norma agama tertentu kepada pemeluk agama lain? Apakah suatu komunitas dikatakan melanggar jika menerapkan norma yang dianutnya, yang notabene bertolak belakang dengan norma yang dianut oleh komunitas di luarnya?
Atas dasar itu, kita perlu mencari norma universal, norma lintas agama dan adat, norma yang dianut bersama. Bagaimanakah caranya? Pertama, para tokoh agama dan adat berkumpul bersama merumuskan norma-norma universal tentang apa saja, bukan hanya tentang pornografi dan pornoaksi. Setiap agama pasti membawa pesan-pesan moral universal. Norma universal inillah yang kemudian disepakati kalau perlu dikodifikasikan dan dikompilasikan untuk kemudian menjadi aturan yang mengikat semua warga negara Indonesia. Ada sangsi-sangsi tertentu bagi setiap yang melanggarnya. Kedua, DPR—sebagai wakil rakyat—segera menyusun Undang-Undang tentang pornografi. Di sinilah relevansi RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Dalam norma universal itu diharapkan kita menemukan jawaban: Bagaimana norma mengatur kebebasan berekspresi? Adakah pornografi yang sesuai dengan norma universal?
Norma yang Tidak Pandang Bulu
Mengatasnamakan norma universal untuk menentang pornografi dan terbitnya majalah Playboy tidak akan bermakna kalau norma itu berlaku pandang bulu. Artinya, seharusnya norma yang sama secara adil diterapkan kepada berbagai media yang sepadan atau lebih parah dari—umpamanya—media majalah Playboy. Tidak ada parsialitas di sana. Tidak bijak kita "menyerang" dengan keras isu pornografi tertentu, sementara isu pornografi yang lain dibiarkan, sehingga terkesan pandang bulu.
Bahkan, dengan atas norma universal, ada titik bidik lain yang harus kita incar yang lebih keras dari pornografi, misalnya pelanggaran terhadap perampasan hak orang lain, merusak lingkungan, mencuri uang negara, melacurkan agama, dan lain sebagainya. Mana yang paling banyak mendatangkan madarat bagi orang banyak? Kepada yang paling banyak membawakan dampak negatif, kita harus melancarkan "perang" lebih sengit.
Norma tidak pandang bulu berarti pula introspeksi diri. Bayangkan, seandainya ada seseorang yang menyerang habis-habisan pornografi, sementara ia sendiri pada saat yang bersama melanggar norma yang lebih besar dari pornografi. Betapa hipokritnya orang itu. Jangan sampai terjadi CD-CD porno yang dijajakan oleh para pedagang kaki lima, yang mengandalkan mata pencahariannya dari sana, dirampas dan dibakar, sementara CD yang sama atau lebih "panas" diputar dengan bebasnya di kamar-kamar kita. See what's wrong in ourself, not in others!
Pamungkas, mencuatnya isu pornografi dan pornoaksi semoga mengingatkan banyak pihak tentang pentingnya melihat sebuah persoalan dari banyak perspektif, tidak hanya dari satu perspektif. Sekali satu norma sudah disepakati, maka hal itu harus dianut dan dilaksanakan secara konsekuen dan tidak pandang bulu. Mari kita berbuat atas nama kebenaran, bukan atas nama kepentingan. Do with truth, not with vested interest!*** (Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 20 Maret 2006)
02 Februari 2009
"AL-QUR'AN MIWAH TARJAMAHNA DINA BASA SUNDA"
Baru-baru ini Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat telah meluncurkan terjemahan al-Qur'an dalam bahasa Sunda, Al-Qur'an Miwah Tarjamahna Dina Basa Sunda (QMTDBS). Terjemahan ini sebenarnya merupakan revisi terhadap terjemahan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, terjemahan ini digarap oleh Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an (LPTQ) Propinsi Jawa Barat yang merekrut beberapa pakar dalam bidang tafsir al-Qur'an dan bahasa Sunda.
Sebagai masyarakat Sunda pada khususnya, kita perlu memberikan apresiasi mendalam atas terbitnya "Tarjamah al-Qur'an Basa Sunda" ini, terlebih di dalamnya terdapat berbagai ornamen motif kaligrafi yang ada di Jawa Barat. Apalagi tujuan penerbitannya, sebagaimana ditulis pada sambutan Gubernur Propinsi Jawa Barat, adalah untuk meningkatkan interaksi orang Sunda dengan al-Qur'an, tidak hanya mengagumi tulisan dan bacaannya, tetapi juga pada upaya memahami dan mengamalkannya.
Memahami al-Qur'an dengan Bahasa Sunda
Menerjemahkan al-Qur'an yang berbahasa Arab ke dalam bahasa lokal (baca: non-Arab/Ajam) dalam sejarahnya tidak semulus seperti perkembangan sekarang. Pernah ada perdebatan tentang boleh atau tidak menerjemahkan al-Qur'an. Beberapa ulama kenamaan seperti Imam Ahmad r.a. pernah mengharamkan pengalihbahasaan al-Qur'an ke dalam bahasa lokal. Alasannya, kekayaan makna yang terkandung dalam kosa kata Arab dalam al-Qur'an tidak dapat direpresentasikan dalam bahasa non-Arab.
Namun, alasan ini nampaknya tidak lebih kuat daripada perintah al-Qur'an sendiri agar al-Qur'an dipahami maknanya, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal merupakan bagian di dalamnya. Dengan demikian, menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa lokal sesungguhnya merupakan bagian implementasi perintah untuk memahami al-Qur'an. Ini tentu saja dengan sebuah catatan bahwa terjemahan tidak akan pernah dapat merepresentasikan secara penuh makna bahasa yang diterjemahkan. Ini berarti pula terjemahan al-Qur'an tidak sama dengan al-Qur'an sendiri.
Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia kita menemukan perjuangan yang tulus dari para ulama untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam Bahasa Sunda, sebut saja di antaranya Tafsir Hirbana, oleh Iskandar Indris (1932); Al-Qur’an Sundawiyah, penerbitan percetakan “Ab. Sitti Syamsiyah”, Solo; Tafsir Lenyepaneun, oleh Moh. E. Hasim (1989); dan Al-Qur'an Miwah Tarjamahna Dina Basa Sunda ini (2006), tentu saja termasuk di dalamnya terjemahan dalam bentuk catatan-catatan tangan yang tidak dicetak atau dipublikasikan. Di samping itu, upaya memahami al-Qur'an dengan bahasa Sunda dapat kita temukan dalam tradisi ngalugot (memberi makna) di pesantren-pesantren salaf di wilayah Jawa Barat.
Menakar Kekayaan Kosa Kata Bahasa Sunda
Salah satu alasan kenapa al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab adalah karena bahasa ini memiliki kekayaan kosa kata yang banyak, sehingga diharapkan dapat merepresentasikan lebih banyak kalam Allah yang tak terbatas. De' Hammer, contohnya, telah melakukan penelitian bahwa kata yang menunjukkan kepada unta dan keadaannya ditemukan sebanyak 5.644 kata. Ada sementara pakar berpendapat bahwa terdapat 25 juta kosa kata bahasa Arab (Quraish Shihab, 1997).
Tatkala al-Qur'an diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda, maka ini artinya kita menerjemahkan kekayaan kosa kata bahasa Arab dengan kekayaan kosa kata yang dimiliki bahasa Sunda. Semakin kecil disparitas perbandingan kosa kata antara kedua bahasa tersebut, maka kita semakin dapat meminimalisir pendangkalan terhadap makna yang dikandung bahasa asli (bahasa Arab), berarti diharapkan dapat merepresentasikan lebih banyak pesan suci al-Qur'an.
Dan kita sebagai masyarakat Sunda bersyukur memiliki kosa kata yang banyak, sehingga dapat menerjemahkan lebih banyak kekayaan kosa kata bahasa Arab. Sebagai contoh penerjemahan terhadap kata khalaqa dan ja`ala dalam al-Qur'an. Dalam bahasa Arab kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Bila yang pertama menjadikan sesuatu dari tiada, maka yang kedua menjadikan sesuatu dari bahan yang sudah ada. Dalam QMTDBS, kita dapatkan kata yang pertama diterjemahkan dengan ngayugakeun, sedangkan kata yang kedua dengan ngajadikeun. Contoh lain, QMTDBS dapat menerjemahkan banyak kata kerja dengan tingkatan pemakaian bahasa yang dikenal dalam bahasa Sunda. Contoh, QMTDBS menerjemahkan kata qala dengan ngadawuh jika subyeknya adalah Allah, para nabi, atau orang-orang saleh, dan dengan ngomong jika subyeknya orang kafir atau sejenisnya.
Namun, tidak jarang pula ditemukan di mana ada kosa kata dalam al-Qur'an yang tidak diperoleh padanannya dalam bahasa Sunda, sehingga diperlukan catatan-catatan untuk menjelaskannya. Sebagai contoh, dalam Q.S. al-Nahl [16], ayat 90 terdapat tiga kosa kata yang berkonotasi negatif, tetapi mengandung muatan makna berlainan, yaitu kata al-fahsya', al-munkar, dan al-bagy. Dalam QMTDBS, kata-kata itu diterjemahkan dengan dosa, kamungkaran, dan jail kaniaya, karena memang kata-kata itulah yang paling cocok untuk digunakan, tetapi tidak dapat menangkap seluruh muatan makna yang dikandung oleh bahasa aslinya. Dalam Dalam konteks seperti ini, maka penulisan tafsir al-Qur'an dalam Bahasa Sunda sangat urgen untuk dilakukan. Sebab, salah satu fungsi tafsir adalah menjelaskan kata dalam al-Qur'an yang tidak dapat dijelaskan oleh terjemah.
Ornamen dan Filosofi Budaya Jawa Barat
Ditinjau dari segi sosio-kultural, QMTDBS merupakan perpaduan antara teks Wahyu (Al-Qur'an) dan budaya Jawa Barat, sebagai perpaduan yang serasi dan seimbang dalam segi perwajahannya. Budaya Jawa Barat yang dimaksud direpresentasikan dalam bentuk ornamen yang menghiasi lembaran-lembarannya. Di dalamnya kita menemukan motif-motif ornamen yang mencirikan budaya di wilayah Jawa Barat, misalnya motif teh, motif Banten, motif Bogor, motif Sukabumi, motif Cianjur, motif Tanggerang, motif Betawi, motif Indramayu, motif Cirebon, motif Bandung (Patrakomala), dan lainnya.
Ornamen yang terdapat dalam QMTDBS memiliki keterkaitan dengan setiap cabang seni Islam. Ornamentasi mempunyai makna dan dapat dilihat sebagai salah satu unsur penting, jika bukan satu-satunya unsur terpenting, dalam tradisi estetis masyarakat Muslim. Ornamentasi bukan tambahan berlebihan pada obyek seni yang dapat dibuat atau dikurangi tanpa konsekuensi estetis. Justru, ornamentasi adalah esensi seni Islam itu sendiri—suatu esensi yang menentukan pemakaian material, yang memola persepsi bentuk-bentuk, dan melahirkan serangkaian struktur yang dapat dilihat dalam setiap cabang produksi artistik (Shadily, 1983).
Oleh karena itu, unsur ornamen dalam QMTDBS seharusnya bukan semata-mata hasil dari faktor dan pengaruh sosiologis, ekonomi, atau geografis (budaya) Jawa Barat. Ia bukan semata-mata komponen dari produk seni "untuk tujuan menghias". Ornamentasi harusnya merupakan hasil dari motivasi yang mendasarinya, alasan dari seluruh budaya dan peradaban masyarakat Jawa Barat. Ornamentasi diharuskan dan ditentukan oleh pesan tauhid.
Ada banyak nilai yang terdapat dalam ornamen QMTDBS, sebuah nilai perpaduan antara kekaguman terhadap seni Islam dengan filosofi budaya Jawa Barat. Selamat atas terbit dan peluncuran QMTDBS, semoga semakin mendekatkan orang Sunda dengan al-Qur'an. (Ditulis oleh Dr. Rosihon Anwar)***
Sebagai masyarakat Sunda pada khususnya, kita perlu memberikan apresiasi mendalam atas terbitnya "Tarjamah al-Qur'an Basa Sunda" ini, terlebih di dalamnya terdapat berbagai ornamen motif kaligrafi yang ada di Jawa Barat. Apalagi tujuan penerbitannya, sebagaimana ditulis pada sambutan Gubernur Propinsi Jawa Barat, adalah untuk meningkatkan interaksi orang Sunda dengan al-Qur'an, tidak hanya mengagumi tulisan dan bacaannya, tetapi juga pada upaya memahami dan mengamalkannya.
Memahami al-Qur'an dengan Bahasa Sunda
Menerjemahkan al-Qur'an yang berbahasa Arab ke dalam bahasa lokal (baca: non-Arab/Ajam) dalam sejarahnya tidak semulus seperti perkembangan sekarang. Pernah ada perdebatan tentang boleh atau tidak menerjemahkan al-Qur'an. Beberapa ulama kenamaan seperti Imam Ahmad r.a. pernah mengharamkan pengalihbahasaan al-Qur'an ke dalam bahasa lokal. Alasannya, kekayaan makna yang terkandung dalam kosa kata Arab dalam al-Qur'an tidak dapat direpresentasikan dalam bahasa non-Arab.
Namun, alasan ini nampaknya tidak lebih kuat daripada perintah al-Qur'an sendiri agar al-Qur'an dipahami maknanya, dan menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal merupakan bagian di dalamnya. Dengan demikian, menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa lokal sesungguhnya merupakan bagian implementasi perintah untuk memahami al-Qur'an. Ini tentu saja dengan sebuah catatan bahwa terjemahan tidak akan pernah dapat merepresentasikan secara penuh makna bahasa yang diterjemahkan. Ini berarti pula terjemahan al-Qur'an tidak sama dengan al-Qur'an sendiri.
Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia kita menemukan perjuangan yang tulus dari para ulama untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam Bahasa Sunda, sebut saja di antaranya Tafsir Hirbana, oleh Iskandar Indris (1932); Al-Qur’an Sundawiyah, penerbitan percetakan “Ab. Sitti Syamsiyah”, Solo; Tafsir Lenyepaneun, oleh Moh. E. Hasim (1989); dan Al-Qur'an Miwah Tarjamahna Dina Basa Sunda ini (2006), tentu saja termasuk di dalamnya terjemahan dalam bentuk catatan-catatan tangan yang tidak dicetak atau dipublikasikan. Di samping itu, upaya memahami al-Qur'an dengan bahasa Sunda dapat kita temukan dalam tradisi ngalugot (memberi makna) di pesantren-pesantren salaf di wilayah Jawa Barat.
Menakar Kekayaan Kosa Kata Bahasa Sunda
Salah satu alasan kenapa al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab adalah karena bahasa ini memiliki kekayaan kosa kata yang banyak, sehingga diharapkan dapat merepresentasikan lebih banyak kalam Allah yang tak terbatas. De' Hammer, contohnya, telah melakukan penelitian bahwa kata yang menunjukkan kepada unta dan keadaannya ditemukan sebanyak 5.644 kata. Ada sementara pakar berpendapat bahwa terdapat 25 juta kosa kata bahasa Arab (Quraish Shihab, 1997).
Tatkala al-Qur'an diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda, maka ini artinya kita menerjemahkan kekayaan kosa kata bahasa Arab dengan kekayaan kosa kata yang dimiliki bahasa Sunda. Semakin kecil disparitas perbandingan kosa kata antara kedua bahasa tersebut, maka kita semakin dapat meminimalisir pendangkalan terhadap makna yang dikandung bahasa asli (bahasa Arab), berarti diharapkan dapat merepresentasikan lebih banyak pesan suci al-Qur'an.
Dan kita sebagai masyarakat Sunda bersyukur memiliki kosa kata yang banyak, sehingga dapat menerjemahkan lebih banyak kekayaan kosa kata bahasa Arab. Sebagai contoh penerjemahan terhadap kata khalaqa dan ja`ala dalam al-Qur'an. Dalam bahasa Arab kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Bila yang pertama menjadikan sesuatu dari tiada, maka yang kedua menjadikan sesuatu dari bahan yang sudah ada. Dalam QMTDBS, kita dapatkan kata yang pertama diterjemahkan dengan ngayugakeun, sedangkan kata yang kedua dengan ngajadikeun. Contoh lain, QMTDBS dapat menerjemahkan banyak kata kerja dengan tingkatan pemakaian bahasa yang dikenal dalam bahasa Sunda. Contoh, QMTDBS menerjemahkan kata qala dengan ngadawuh jika subyeknya adalah Allah, para nabi, atau orang-orang saleh, dan dengan ngomong jika subyeknya orang kafir atau sejenisnya.
Namun, tidak jarang pula ditemukan di mana ada kosa kata dalam al-Qur'an yang tidak diperoleh padanannya dalam bahasa Sunda, sehingga diperlukan catatan-catatan untuk menjelaskannya. Sebagai contoh, dalam Q.S. al-Nahl [16], ayat 90 terdapat tiga kosa kata yang berkonotasi negatif, tetapi mengandung muatan makna berlainan, yaitu kata al-fahsya', al-munkar, dan al-bagy. Dalam QMTDBS, kata-kata itu diterjemahkan dengan dosa, kamungkaran, dan jail kaniaya, karena memang kata-kata itulah yang paling cocok untuk digunakan, tetapi tidak dapat menangkap seluruh muatan makna yang dikandung oleh bahasa aslinya. Dalam Dalam konteks seperti ini, maka penulisan tafsir al-Qur'an dalam Bahasa Sunda sangat urgen untuk dilakukan. Sebab, salah satu fungsi tafsir adalah menjelaskan kata dalam al-Qur'an yang tidak dapat dijelaskan oleh terjemah.
Ornamen dan Filosofi Budaya Jawa Barat
Ditinjau dari segi sosio-kultural, QMTDBS merupakan perpaduan antara teks Wahyu (Al-Qur'an) dan budaya Jawa Barat, sebagai perpaduan yang serasi dan seimbang dalam segi perwajahannya. Budaya Jawa Barat yang dimaksud direpresentasikan dalam bentuk ornamen yang menghiasi lembaran-lembarannya. Di dalamnya kita menemukan motif-motif ornamen yang mencirikan budaya di wilayah Jawa Barat, misalnya motif teh, motif Banten, motif Bogor, motif Sukabumi, motif Cianjur, motif Tanggerang, motif Betawi, motif Indramayu, motif Cirebon, motif Bandung (Patrakomala), dan lainnya.
Ornamen yang terdapat dalam QMTDBS memiliki keterkaitan dengan setiap cabang seni Islam. Ornamentasi mempunyai makna dan dapat dilihat sebagai salah satu unsur penting, jika bukan satu-satunya unsur terpenting, dalam tradisi estetis masyarakat Muslim. Ornamentasi bukan tambahan berlebihan pada obyek seni yang dapat dibuat atau dikurangi tanpa konsekuensi estetis. Justru, ornamentasi adalah esensi seni Islam itu sendiri—suatu esensi yang menentukan pemakaian material, yang memola persepsi bentuk-bentuk, dan melahirkan serangkaian struktur yang dapat dilihat dalam setiap cabang produksi artistik (Shadily, 1983).
Oleh karena itu, unsur ornamen dalam QMTDBS seharusnya bukan semata-mata hasil dari faktor dan pengaruh sosiologis, ekonomi, atau geografis (budaya) Jawa Barat. Ia bukan semata-mata komponen dari produk seni "untuk tujuan menghias". Ornamentasi harusnya merupakan hasil dari motivasi yang mendasarinya, alasan dari seluruh budaya dan peradaban masyarakat Jawa Barat. Ornamentasi diharuskan dan ditentukan oleh pesan tauhid.
Ada banyak nilai yang terdapat dalam ornamen QMTDBS, sebuah nilai perpaduan antara kekaguman terhadap seni Islam dengan filosofi budaya Jawa Barat. Selamat atas terbit dan peluncuran QMTDBS, semoga semakin mendekatkan orang Sunda dengan al-Qur'an. (Ditulis oleh Dr. Rosihon Anwar)***
MAULID NABI, PLAYBOY, DAN WIBAWA BANGSA
Ada sesuatu yang menodai kesucian peringatan maulid Nabi pada tahun ini, yaitu terbitnya Majalah Playboy (MP) pada hari Jum`at (07 April) yang lalu. Terbitan edisi perdana majalah berbau pornografi dan pornoaksi ini hampir bersamaan dengan momentum besar peringatan dilahirkannya Nabi yang mengusung moralitas dalam misi dan dakwahnya, yaitu hari Senin (10 April). Walaupun belum ada indikasi apakah di sana ada unsur kesengajaan atau tidak, yang jelas terbitnya majalah yang dicetak ratusan ribu eksemplar ini benar-benar menyakiti perasaan umat Islam. Betapa tidak, rencana terbitnya majalah itu telah ditentang secara besar-besaran oleh berbagai elemen masyarakat, terutama umat Islam. Ternyata itu tidak membuat pihak pengelolanya berpikir ulang untuk menerbitkannya.
Rasanya, aksi protes 200 orang dari Front Pembela Islam (FPI) se-Bandung Raya yang mendatangi Hotel Holiday Inn, aksi mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bandung, aksi Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Islam (FSLDI) yang berunjuk rasa di depan Gedung Sate, serta aksi-aksi lainnya tidak akan mendorong pengelola MP untuk mencabut kembali dari peredaran. Harus ada upaya yang sinergis di kalangan umat Islam yang tidak saja melibatkan organisasi-organisasi masa, tetapi juga yang terpenting adalah melibat umat Islam yang sedang memegang posisi strategis di pemerintahan. Tanpa itu, aksi jalanan hanya akan dianggap angin lalu.
Semangat Maulid Nabi
Maulid Nabi mengingatkan kita akan perjuangan yang tak pernah henti dari Nabi Muhammad SAW. untuk mengajarkan moralitas. "Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan moralitas" (innama bu`itstu li utammima makarimal akhlaq), begitu Nabi menjelaskan misi universalnya. Dalam menjalankan misi ini, Nabi sanggup membangkitkan semangat bangkit dari orang-orang sekitarnya untuk menentang apa saja yang bertentangan dengan moralitas. Konon, Salahuddin al-Ayyubi juga berhasil membangkitkan semangat juang umat Islam dengan maulid Nabi. Jadi, inti peringatan maulid Nabi adalah membangkitkan semangat umat Islam untuk bersatu melawan segala aksi yang menebarkan amoralitas.
Artikulasi perjalanan hidup Nabi Muhammad (baca: sirah nabawiyyah) yang selalu ada pada setiap peringatan maulid Nabi seharusnya diwujudkan dalam bentuk aksi untuk menentang segala bentuk penyimpangan-penyimpangan moral. Rasanya, peringatan maulid Nabi kurang berarti makna kalau hanya berbentuk seremonial, tanpa memberikan daya juang atau etos hidup. Salah satu perjuangan Nabi dalam menjalankan misinya adalah melakukan revolusi besar-besaran terhadap berbagai penyimpangan moral di kalangan masyarakat Arab. Dakwah Nabi berhasil dengan sukses karena keterlibatan berbagai unsur penting dalam masyarakat: Teknokrat, konglomerat, dan yang lainnya.
Kalau ada pertanyaan "apa momentum penting peringatan maulid Nabi tahun ini?", maka jawabannya adalah mendorong dan membangkitkan semangat pemerintah dan DPR untuk segera mensahkan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (UUAPP). UU ini mudah-mudahan akan menambah daya pressure untuk menentang berbagai aksi yang berbau pornografi, termasuk Majalah Playboy.
Wibawa Bangsa
Terbitnya MP telah menggeser isu dari sekedar perdebatan seputar hakekat pornografi dan pornoaksi, tetapi juga sudah meluas kepada isu wibawa bangsa yang telah dinodai. Kalau protes dari hampir seluruh elemen bangsa sudah tidak didengar lagi, kalau aspirasi masyarakat sudah dikalahkan oleh bisnis demi kepentingan segelintir orang, apakah ini tidak dapat menjelaskan realita bahwa wibawa bangsa sudah dinodai? Apalagi terdengar selentingan bahwa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim ini adalah negara yang paling gampang untuk menjual komoditas pornografi dan pornoaksi. Sungguh ini merupakan kenyataan yang luar biasa pahitnya. Jika kasus MP ini tidak berakhir dengan ditariknya dari peredaran, maka ini akan menjadi preseden yang tidak baik.
Rasanya, aksi protes 200 orang dari Front Pembela Islam (FPI) se-Bandung Raya yang mendatangi Hotel Holiday Inn, aksi mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bandung, aksi Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Islam (FSLDI) yang berunjuk rasa di depan Gedung Sate, serta aksi-aksi lainnya tidak akan mendorong pengelola MP untuk mencabut kembali dari peredaran. Harus ada upaya yang sinergis di kalangan umat Islam yang tidak saja melibatkan organisasi-organisasi masa, tetapi juga yang terpenting adalah melibat umat Islam yang sedang memegang posisi strategis di pemerintahan. Tanpa itu, aksi jalanan hanya akan dianggap angin lalu.
Semangat Maulid Nabi
Maulid Nabi mengingatkan kita akan perjuangan yang tak pernah henti dari Nabi Muhammad SAW. untuk mengajarkan moralitas. "Sesungguhnya saya diutus hanya untuk menyempurnakan moralitas" (innama bu`itstu li utammima makarimal akhlaq), begitu Nabi menjelaskan misi universalnya. Dalam menjalankan misi ini, Nabi sanggup membangkitkan semangat bangkit dari orang-orang sekitarnya untuk menentang apa saja yang bertentangan dengan moralitas. Konon, Salahuddin al-Ayyubi juga berhasil membangkitkan semangat juang umat Islam dengan maulid Nabi. Jadi, inti peringatan maulid Nabi adalah membangkitkan semangat umat Islam untuk bersatu melawan segala aksi yang menebarkan amoralitas.
Artikulasi perjalanan hidup Nabi Muhammad (baca: sirah nabawiyyah) yang selalu ada pada setiap peringatan maulid Nabi seharusnya diwujudkan dalam bentuk aksi untuk menentang segala bentuk penyimpangan-penyimpangan moral. Rasanya, peringatan maulid Nabi kurang berarti makna kalau hanya berbentuk seremonial, tanpa memberikan daya juang atau etos hidup. Salah satu perjuangan Nabi dalam menjalankan misinya adalah melakukan revolusi besar-besaran terhadap berbagai penyimpangan moral di kalangan masyarakat Arab. Dakwah Nabi berhasil dengan sukses karena keterlibatan berbagai unsur penting dalam masyarakat: Teknokrat, konglomerat, dan yang lainnya.
Kalau ada pertanyaan "apa momentum penting peringatan maulid Nabi tahun ini?", maka jawabannya adalah mendorong dan membangkitkan semangat pemerintah dan DPR untuk segera mensahkan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (UUAPP). UU ini mudah-mudahan akan menambah daya pressure untuk menentang berbagai aksi yang berbau pornografi, termasuk Majalah Playboy.
Wibawa Bangsa
Terbitnya MP telah menggeser isu dari sekedar perdebatan seputar hakekat pornografi dan pornoaksi, tetapi juga sudah meluas kepada isu wibawa bangsa yang telah dinodai. Kalau protes dari hampir seluruh elemen bangsa sudah tidak didengar lagi, kalau aspirasi masyarakat sudah dikalahkan oleh bisnis demi kepentingan segelintir orang, apakah ini tidak dapat menjelaskan realita bahwa wibawa bangsa sudah dinodai? Apalagi terdengar selentingan bahwa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim ini adalah negara yang paling gampang untuk menjual komoditas pornografi dan pornoaksi. Sungguh ini merupakan kenyataan yang luar biasa pahitnya. Jika kasus MP ini tidak berakhir dengan ditariknya dari peredaran, maka ini akan menjadi preseden yang tidak baik.
KESURUPAN & JIWA YANG TERTEKAN
Bila boleh menambahkan deretan kejadian luar biasa (KLB) saat ini di Indonesia, maka kejadian itu adalah kesurupan. Kesurupan bisa menambah deretan KLB di samping kasus plu burung, demam berdarah, dan lain sebagainya. Bayangkan hampir pada waktu yang bersamaan terjadi peristiwa kesurupan di mana-mana secara massal, Yogyakarta (6/3), Banjarmasin (20/3), Surabaya (20-22/3), Bogor (21/3), Malang (22/3), Tanggerang (28/3), dan Bandung (29/3) terutama di pabrik dan sekolahan. Peristiwa ini membuat kita geli sekaligus cemas. Geli karena kejadian supranatural yang konon karena kerasukan jin itu terjadi hampir bersamaan. Mungkinkah bangsa Jin sedang melakukan unjuk rasa secara masal pula? Cemas karena peristiwa itu mengganggu banyak aktivitas manusia. Bayangkan kalau kesurupan itu menjadi langganan. Pada hampir setiap kasus, peristiwa kesurupan itu membuat aktivitas pembelajaran di sekolah tidak lancar. Ada seloroh yang muncul, sepertinya peristiwa gaib ini sebaiknya menambah hari nasional di Indonesia, hari "Kesurupan Nasional".
Ada beberapa analisis tentang pemicu terjadinya kesurupan massal itu, mulai yang berbau mistik, religius, sampai yang rasional. Analisis mistik menjelaskan bahwa kesurupan itu dipicu oleh kemarahan para "penunggu" yang tempatnya diganggu oleh bangsa manusia, karena pohon besar ditebang, rehab bangunan yang tidak didahului sesajen, dan lain sebagainya. Analisis religius menjelaskan bahwa kesurupan dipicu oleh minimnya pengetahuan agama, sebagaimana dikemukakan ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Abdurrahman Navis di Surabaya, Sabtu (25/3). Ia menilai kesurupan (kerasukan mahluk halus) secara massal yang akhir-akhir marak di berbagai daerah di Indonesia membuktikan kurangnya pendidikan agama di sekolah. Dari aspek agama, orang yang kerasukan jin itu umumnya karena jarang berdzikir atau jarang beribadah.
Yang paling menarik adalah uraian Prof. Dadang Hawari sebagaimana disiarkan salah satu stasion televisi di Indonesia. Penjelasannya agak rasional. Ia menjelaskan bahwa kesurupan dipicu oleh gejala psikis yang labil dan kosong karena lelah atau cape bekerja. Jadi, faktor psikologis merupakan pemicunya.
Menurut penulis Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta, kata "kesurupan" berasal dari bahasa Jawa artinya "kerasukan (setan)". Menurut sebagian pakar Jin (jinologi), ada dimensi-dimensi tertentu di mana Jin dapat masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian mengendalikan jiwanya, sehingga yang muncul adalah hal-hal yang aneh: Selang-seling antara menjerit, tertawa, menangis, dan sesekali memukul. Ada buku menarik tentang ini, yaitu al-`Ilaj al-Rabbaniyy li al-Sihr wa al-Mass al-Syaithaniyy (Pengobatan Rabbani terhadap Sihir dan Gangguan Setan) karya Majdi Muhammad al-Syahawi. Pada buku ini dijelaskan berbagai macam modus operandi bagaimana "trik-trik" jin dan setan membuat manusia menjadi kesurupan, sekaligus bagaimana cara mengobatinya. Pada buku itu dijelaskan pula bahwa jin bisa merasuk ketika manusia sedang marah yang berlebihan, ketika takut yang berlebihan, ketika dorongan syahwat yang menggelora, dan ketika lalai yang berlebihan.
Simbol Jiwa yang Tertekan?
Yang paling penting dalam peristiwa kesurupan nasional ini adalah mencari akar persoalan sosial mengapa psikis korban menjadi labil dan stres sehingga ia mudah kerasukan jin. Dalam beberapa kasus yang ada, peristiwa itu menimpa beberapa pekerja dan siswa pelajar. Mengapa pelajar dan pekerja stres? Jawabannya bisa merambah kepada penelisikan terhadap sebuah sistem yang berlaku di pabrik atau sekolah. Kesurupan yang menimpa para pekerja merupakan sebuah fenomena (gejala lahir) dari nomena (gejala batin) yang tidak tampak. Gajih di bawah UMR, jam kerja yang tidak sesuai dengan penghasilan, tempat kerja yang tidak kondusif, sikap majikan yang tidak kooperatif dan sedikit bengis, serta lilitan hidup yang semakin mencekik bisa saja membuat pekerja menjadi stres. Kesurupan merupakan simbol jiwa pekerja yang tertekan.
Ini tentu saja mengingatkan kita semua tentang rendahnya kesadaran spiritualitas memperkerjakan orang. Spiritualitas ketenaga-kerjaan ini semestinya yang harus dikedepankan oleh kita setiap memperkerjakan orang. Islam sesungguhnya merupakan ajaran yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas ketenaga-kerjaan. Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, Nabi SAW. pernah menegur keras seorang sahabat yang memaksakan onta untuk menanggung beban yang tidak kuat dibawanya. Bila hewan saja dilarang untuk dipekerjakan di luar batas kemampuannya, apalagi manusia. Dalam hadits lainnya, Nabi SAW. memerintahkan kita untuk membayar upah pekerja sebelum keringatnya kering. Ini tentu saja merupakan sebiah nilai spiritualitas ketenaga-kerjaan yang sangat bernilai: Memperhatikan gaji pekerja. Sebelum keringatnya kering berarti sebelum jiwanya terhimpit oleh persoalan-persoalan hidup, sebelum jiwanya terdorong untuk melakukan tindakan kriminal karena himpitan hidup, sebelum melakukan unjuk rasa besar-besaran yang destruktif, dan lain sebagainya. Yang terpenting, memperkerjakan orang seharusnya berlandaskan ibadah sosial untuk meringankan kesulitan orang dalam persoalan ekonominya.
Mengapa siswa pelajar kesurupan? Jawabannya bisa merambah kepada penelisikan terhadap sebuah sistem yang berlaku di sekolah. Pekerjaan Rumah (PR) yang menumpuk, sistem pembelajaran yang diktator, lingkungan sekolah yang kumuh dan hampir roboh, guru yang tidak menarik, serta lilitan problema di luar kelas bisa saja membuat para pelajar menjadi stres. Kesurupan merupakan simbol jiwa pelajar yang tertekan.
Ini tentu saja—sekali lagi—mengingatkan kita semua tentang perlunya memompa kesadaran spiritualitas mendidik murid. Spiritualitas pendidikan ini semestinya yang harus dikedepankan oleh kita setiap mengelolah sebuah sistem pebelajaran. Islam sesungguhnya merupakan ajaran yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas pendidikan. Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, Nabi SAW. pernah bersabda, "Tuhanku telah mengajariku dengan cara yang sangat baik. (Addabani rabbi ahsana ta'dib)." Ini tentu saja merupakan sebuah isyarat tentang perlunya mengemas metode pembelajaran yang baik, metode yang mencerdaskan sekaligus menyenangkan psikis anak didik. Dalam hadits yang sangat terkenal, Nabi SAW. memerintahkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain sesuai dengan kadar intelektualnya (khatibinnas bi qadri `uqulihim). Ini pun merupakan sebuah isyarat tentang pentingnya memikirkan sesbuah sistem pembelajaran sesuai dengan kavasitas anak didik kita. Yang terpenting, mendidik seharusnya berlandaskan ibadah sosial untuk mempersiapkan generasi bangsa yang kuat.
Bukan Terapi yang Instan
Mendatangkan kyai, ustad, dan paranormal memang dapat menyembuhkan seseorang dari gejala kesurupan, tetapi terapinya bersipat sesaat dan instan. Bukan terapi itu yang sesungguhnya kita butuhkan. Kita membutuhkan sebuah grand of therapy yang bersifat sistemik dan terpadu, serta berjangka panjang. Sistemik maksudnya adalah mencoba menyelesaikan akar persoalan dengan tidak hanya membidik korban, tetapi juga membidik faktor-faktor yang melatarinya. Terpadu artinya solusi yang diharapkan harus seirama dengan sebuah kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kemaslahatan rakyat. Tanpa itu, kesurupan akan menjadikan sebuah momok menakutkan bagi siapa saja yang jiwanya tertindas, tertindas karena lilitan persoalan hidup yang semakin mencekik. Bagaikan bom waktu, kesurupan bisa saja menghampiri kita.
Kita berharap agar rencana revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan berpihak kepada hak-hak pekerja. Kita berharap pula Undang-Undang Guru dan Dosen segera direalisasikan sebagai upaya menyelesaikan salah satu krisis sistem pendidikan kita. Dengan kedua hal di atas, mudah-mudahan kesurupan masal tidak akan terulang lagi, semoga.***
Ada beberapa analisis tentang pemicu terjadinya kesurupan massal itu, mulai yang berbau mistik, religius, sampai yang rasional. Analisis mistik menjelaskan bahwa kesurupan itu dipicu oleh kemarahan para "penunggu" yang tempatnya diganggu oleh bangsa manusia, karena pohon besar ditebang, rehab bangunan yang tidak didahului sesajen, dan lain sebagainya. Analisis religius menjelaskan bahwa kesurupan dipicu oleh minimnya pengetahuan agama, sebagaimana dikemukakan ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Abdurrahman Navis di Surabaya, Sabtu (25/3). Ia menilai kesurupan (kerasukan mahluk halus) secara massal yang akhir-akhir marak di berbagai daerah di Indonesia membuktikan kurangnya pendidikan agama di sekolah. Dari aspek agama, orang yang kerasukan jin itu umumnya karena jarang berdzikir atau jarang beribadah.
Yang paling menarik adalah uraian Prof. Dadang Hawari sebagaimana disiarkan salah satu stasion televisi di Indonesia. Penjelasannya agak rasional. Ia menjelaskan bahwa kesurupan dipicu oleh gejala psikis yang labil dan kosong karena lelah atau cape bekerja. Jadi, faktor psikologis merupakan pemicunya.
Menurut penulis Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta, kata "kesurupan" berasal dari bahasa Jawa artinya "kerasukan (setan)". Menurut sebagian pakar Jin (jinologi), ada dimensi-dimensi tertentu di mana Jin dapat masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian mengendalikan jiwanya, sehingga yang muncul adalah hal-hal yang aneh: Selang-seling antara menjerit, tertawa, menangis, dan sesekali memukul. Ada buku menarik tentang ini, yaitu al-`Ilaj al-Rabbaniyy li al-Sihr wa al-Mass al-Syaithaniyy (Pengobatan Rabbani terhadap Sihir dan Gangguan Setan) karya Majdi Muhammad al-Syahawi. Pada buku ini dijelaskan berbagai macam modus operandi bagaimana "trik-trik" jin dan setan membuat manusia menjadi kesurupan, sekaligus bagaimana cara mengobatinya. Pada buku itu dijelaskan pula bahwa jin bisa merasuk ketika manusia sedang marah yang berlebihan, ketika takut yang berlebihan, ketika dorongan syahwat yang menggelora, dan ketika lalai yang berlebihan.
Simbol Jiwa yang Tertekan?
Yang paling penting dalam peristiwa kesurupan nasional ini adalah mencari akar persoalan sosial mengapa psikis korban menjadi labil dan stres sehingga ia mudah kerasukan jin. Dalam beberapa kasus yang ada, peristiwa itu menimpa beberapa pekerja dan siswa pelajar. Mengapa pelajar dan pekerja stres? Jawabannya bisa merambah kepada penelisikan terhadap sebuah sistem yang berlaku di pabrik atau sekolah. Kesurupan yang menimpa para pekerja merupakan sebuah fenomena (gejala lahir) dari nomena (gejala batin) yang tidak tampak. Gajih di bawah UMR, jam kerja yang tidak sesuai dengan penghasilan, tempat kerja yang tidak kondusif, sikap majikan yang tidak kooperatif dan sedikit bengis, serta lilitan hidup yang semakin mencekik bisa saja membuat pekerja menjadi stres. Kesurupan merupakan simbol jiwa pekerja yang tertekan.
Ini tentu saja mengingatkan kita semua tentang rendahnya kesadaran spiritualitas memperkerjakan orang. Spiritualitas ketenaga-kerjaan ini semestinya yang harus dikedepankan oleh kita setiap memperkerjakan orang. Islam sesungguhnya merupakan ajaran yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas ketenaga-kerjaan. Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, Nabi SAW. pernah menegur keras seorang sahabat yang memaksakan onta untuk menanggung beban yang tidak kuat dibawanya. Bila hewan saja dilarang untuk dipekerjakan di luar batas kemampuannya, apalagi manusia. Dalam hadits lainnya, Nabi SAW. memerintahkan kita untuk membayar upah pekerja sebelum keringatnya kering. Ini tentu saja merupakan sebiah nilai spiritualitas ketenaga-kerjaan yang sangat bernilai: Memperhatikan gaji pekerja. Sebelum keringatnya kering berarti sebelum jiwanya terhimpit oleh persoalan-persoalan hidup, sebelum jiwanya terdorong untuk melakukan tindakan kriminal karena himpitan hidup, sebelum melakukan unjuk rasa besar-besaran yang destruktif, dan lain sebagainya. Yang terpenting, memperkerjakan orang seharusnya berlandaskan ibadah sosial untuk meringankan kesulitan orang dalam persoalan ekonominya.
Mengapa siswa pelajar kesurupan? Jawabannya bisa merambah kepada penelisikan terhadap sebuah sistem yang berlaku di sekolah. Pekerjaan Rumah (PR) yang menumpuk, sistem pembelajaran yang diktator, lingkungan sekolah yang kumuh dan hampir roboh, guru yang tidak menarik, serta lilitan problema di luar kelas bisa saja membuat para pelajar menjadi stres. Kesurupan merupakan simbol jiwa pelajar yang tertekan.
Ini tentu saja—sekali lagi—mengingatkan kita semua tentang perlunya memompa kesadaran spiritualitas mendidik murid. Spiritualitas pendidikan ini semestinya yang harus dikedepankan oleh kita setiap mengelolah sebuah sistem pebelajaran. Islam sesungguhnya merupakan ajaran yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas pendidikan. Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, Nabi SAW. pernah bersabda, "Tuhanku telah mengajariku dengan cara yang sangat baik. (Addabani rabbi ahsana ta'dib)." Ini tentu saja merupakan sebuah isyarat tentang perlunya mengemas metode pembelajaran yang baik, metode yang mencerdaskan sekaligus menyenangkan psikis anak didik. Dalam hadits yang sangat terkenal, Nabi SAW. memerintahkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain sesuai dengan kadar intelektualnya (khatibinnas bi qadri `uqulihim). Ini pun merupakan sebuah isyarat tentang pentingnya memikirkan sesbuah sistem pembelajaran sesuai dengan kavasitas anak didik kita. Yang terpenting, mendidik seharusnya berlandaskan ibadah sosial untuk mempersiapkan generasi bangsa yang kuat.
Bukan Terapi yang Instan
Mendatangkan kyai, ustad, dan paranormal memang dapat menyembuhkan seseorang dari gejala kesurupan, tetapi terapinya bersipat sesaat dan instan. Bukan terapi itu yang sesungguhnya kita butuhkan. Kita membutuhkan sebuah grand of therapy yang bersifat sistemik dan terpadu, serta berjangka panjang. Sistemik maksudnya adalah mencoba menyelesaikan akar persoalan dengan tidak hanya membidik korban, tetapi juga membidik faktor-faktor yang melatarinya. Terpadu artinya solusi yang diharapkan harus seirama dengan sebuah kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kemaslahatan rakyat. Tanpa itu, kesurupan akan menjadikan sebuah momok menakutkan bagi siapa saja yang jiwanya tertindas, tertindas karena lilitan persoalan hidup yang semakin mencekik. Bagaikan bom waktu, kesurupan bisa saja menghampiri kita.
Kita berharap agar rencana revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan berpihak kepada hak-hak pekerja. Kita berharap pula Undang-Undang Guru dan Dosen segera direalisasikan sebagai upaya menyelesaikan salah satu krisis sistem pendidikan kita. Dengan kedua hal di atas, mudah-mudahan kesurupan masal tidak akan terulang lagi, semoga.***
KARIKATUR NABI: ANTARA PELECEHAN DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI
Pelecehan terhadap perasaan umat Islam dengan dalih kebebasan berekspresi kembali terjadi. Kali ini pelakunya adalah Surat Kabar Harian Denmark Jyllands Posten pimpinan Carsten Juste. Di surat kabar tersebut dimuat 12 karikatur/kartun Nabi Muhammad SAW. Carsten menyebutkan, pada 30 September 2005 Jyllands Posten telah mencetak 12 gambar karya juru gambar kartun yang mengekspresikan bagaimana kira-kira rupa Nabi Muhammad. Ini dalam rangka perdebatan seru tentang kebebasan mengutarakan pendapat yang sangat dihargai di Denmark (Media Indonesia.Online, 3 Pebruari 2006).
Sebelumnya, pada tahun 80-an Salman Rusdi, keturunan India yang tinggal di Inggris, telah menulis buku setebal 574 halaman dengan judul Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan). Buku ini menghujat umat Islam dan penulisnya menerima bayaran $ 800.000 itu dari penerbit. Rusdi telah melecehkan umat Islam dengan mengatakan bahwa setan berhasil mempengerahi Nabi untuk berujar atas nama wahyu. Ujarannya itulah yang kemudian dinamakan ayat-ayat setan (gharanîq). Ternyata timbul pro dan kontra terhadap bukunya itu, dan terakhir terungkap bahwa apa yang diungkap Salman Rusdi hanya omong kosong. Lebih-lebih ketika Dr Syamsuddin al-Fasi menyanggah sekaligus menyerang Salman Rusdi dengan bukunya Ayat al-Samawiyyah fî Radd `ala Kitab Ayat al-Syaithaniyah, yang diterjemahkan oleh H. Salim Basyarahil ke dalam bahasa Indonesia dengan Ayat-ayat Tuhan Menjawab Ayat-ayat Setan. Juga masih pada tahun 80-an, perasaan umat Islam terusik oleh ulah Arswendo Atmowiloto ketika ia merangking Nabi Muhammad di bawah beberapa tokoh, termasuk di bawah tokoh Indonesia. Reaksi keras dari kalangan umat Islam pun bermunculan.
Sebagaimana terhadap kasus Salman Rusdie dan Arswendo Atmowiloto, umat Islam di seluruh dunia—tidak saja di Indonesia—memberikan reaksi keras terhadap kasus karikatur Nabi di atas. Reaksi itu muncul dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri kita lihat kecaman pemerintah Indonesia, MUI, ORMAS NU, ORMAS Muhammadiyah, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan unsur keagamaan lainnya. Dari luar negeri kita, misalnya, membaca kecaman dari Arab Saudi, Parlemen Pakistan yang mengeluarkan resolusi mengutuk, rakyat Palestina, dan negara Islam lainnya, sampai kepada Sekjen PBB Kofi Annan yang merasa prihatin dengan kasus ini. Bahkan, pemerintahan Amerika pun mengecamnya dan menilainya sebagai pelecehan yang tidak dapat diterima (Media Indonesia, 3 Pebruari 2006). Kecaman yang mendunia terhadap kasus ini dikhawatirkan akan bermuara pada konflik agama.
Mengapa Melecehkan?
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad bukan merupakan sosok manusia biasa. Ia adalah sosok luar biasa karena posisinya sebagai pembawa risalah dan penyampai sabda Allah. Ia merupakan sosok pembawa kebaikan bagi semesta alam (rahmatan lil`alamin). Ketika namanya disebut, umat Islam memanjatkan doa baginya sebagai simbol pengagungan. Karenanya, ia harus dihormati dan dimuliakan. Nabi merupakan simbol keberagamaan umat Islam yang harus dimuliakan oleh siapa saja, termasuk oleh orang-orang non-Muslim. Begitu pentingnya posisi Nabi bagi umat Islam, sehingga namanya disertakan dalam ungkapan syahadatayn (dua kalimat persaksian). Nabi tidak saja mulia dari sisi akhlak, tetapi juga mulia dari sisi fisik. Sebuah kitab klasik Al-Barjanji misalnya menggambarkan begitu sempurnanya gambaran fisik Nabi sehingga sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ketika sosok mulia itu dilukis dalam bentuk karikatur—apalagi dengan motivasi yang negatif, maka pembuatnya berarti telah melecehkan Nabi, melecehkan simbol agama Islam, dan melukai perasaan umat Islam.
Memang ada banyak alasan kenapa para ulama mengharamkan memunculkan sosok Nabi dalam bentuk gambar apalagi karikatur. Di samping menghindari pengkultusan individu, juga menghindari gambaran-gambaran yang mengurangi—apalagi melecehkan—kesempurnaan sosok Nabi. Nabi, ka`bah, mesjid, dan lainnya merupakan simbol keberagamaan yang dihormati umat Islam. Tak boleh seorang pun melecehkannya dengan dalih apapun, termasuk dalih kebebasan berekspresi.
Antara Toleransi Beragama dan Kebebasan Berekspresi
Memuat karikatur Nabi dalam media publik dengan dalih kebebasan berekspresi semakin membuka ruang perdebatan sejauh mana seseorang bebas berekspresi? Apakah kebebasan berekspresi itu dapat melanggar batas-batas toleransi agama? Juga, kasus ini semakin memberi penegasan mengenai pentingnya menentukan batasan-batasan toleransi beragama? Saya kira toleransi beragama itu bukan hanya mencari sisi kesamaan atau titik temu dari agama-agama, tetapi juga saling menghormati simbol agama masing-masing. Semua agama pasti memiliki simbol-simbol keagamaan yang harus dimuliakan oleh pemeluknya dan tetap harus dihormati oleh para pemeluk agama lainnya.
Kebebasan berekspresi dan toleransi seharusnya menjalin hubungan yang serasi, bukan hubungan vis a vis. Ada wilayah-wilayah tertentu yang tidak boleh disentuh oleh kebebasan berekspresi. Wilayah itu adalah apa yang dinamakan subyektivitas keberagamaan. Bagi orang-orang non-Islam, memang sosok Nabi Muhammad mungkin tidak berbeda dengan sosok-sosok manusia lainnya yang karenanya bebas diekspresikan, tetapi itu berbeda bagi orang-orang Islam. Di sana ada subyektivitas. Justru di sinilah kearifan toleransi beragama. Kita lihat, umpamanya, pemimpin Jyllands Posten, Carsten Juste, berpendapat bahwa 12 gambar kartun itu biasa-biasa saja dan tidak dimaksudkan untuk menyinggung perasaan siapapun. Tetapi ternyata yang terjadi adalah justru menyinggung perasaan umat Islam. Kenapa itu terjadi? Karena ada subyektivitas keberagamaan yang dilanggar.
Diperlukan Kearifan Bersama
Ada himbauan baik dari Sekjen PBB Kofi Annan agar umat Islam di seluruh dunia menerima permohonan maaf dari pihak surat kabar yang memuat kartun Nabi Muhammad saw. Ini adalah himbauan yang baik. Namun, sebaiknya himbauan serupa dialamatkan kepada media-media Barat agar tidak mengulangi kasus serupa. Diperlukan kearifan bersama. Bagi umat Islam, kasus karikatur memang sangat menyinggung perasaan, tetapi semoga ada kearifan dari berbagai pihak untuk tidak melakukan tindakan-tindakan balas dendam dengan merusak simbol-simbol keagamaan tertentu. Sebaliknya, pihak media Barat yang nota bene dikelola oleh non-muslim, juga harus memiliki kearifan untuk tidak melecehkan simbol-simbol keberagamaan umat Islam. Dalih kebebasan berekspresi hendaknya tidak melahirkan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap toleransi beragama.
Permohonan maaf dari Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh, atas kasus di atas memang belum cukup untuk menghilangkan rasa sakit umat Islam, tetapi setidak-tidaknya hal itu menunjukan itikad baik dari Denmark itu sendiri. Menerima permohonan maaf tidak berarti berhenti berjuang dan mendesak agar ada sangsi sebagai efek jera kepada siapa saja yang melakukan pelecehan terhadap simbol-simbol keagamaan. Dan sambil terus mendesak agar ada sangsi itu segera ditegakkan, mari kita perlihatkan kebesaran Islam yang sangat menonjolkan kearifan.[]
Sebelumnya, pada tahun 80-an Salman Rusdi, keturunan India yang tinggal di Inggris, telah menulis buku setebal 574 halaman dengan judul Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan). Buku ini menghujat umat Islam dan penulisnya menerima bayaran $ 800.000 itu dari penerbit. Rusdi telah melecehkan umat Islam dengan mengatakan bahwa setan berhasil mempengerahi Nabi untuk berujar atas nama wahyu. Ujarannya itulah yang kemudian dinamakan ayat-ayat setan (gharanîq). Ternyata timbul pro dan kontra terhadap bukunya itu, dan terakhir terungkap bahwa apa yang diungkap Salman Rusdi hanya omong kosong. Lebih-lebih ketika Dr Syamsuddin al-Fasi menyanggah sekaligus menyerang Salman Rusdi dengan bukunya Ayat al-Samawiyyah fî Radd `ala Kitab Ayat al-Syaithaniyah, yang diterjemahkan oleh H. Salim Basyarahil ke dalam bahasa Indonesia dengan Ayat-ayat Tuhan Menjawab Ayat-ayat Setan. Juga masih pada tahun 80-an, perasaan umat Islam terusik oleh ulah Arswendo Atmowiloto ketika ia merangking Nabi Muhammad di bawah beberapa tokoh, termasuk di bawah tokoh Indonesia. Reaksi keras dari kalangan umat Islam pun bermunculan.
Sebagaimana terhadap kasus Salman Rusdie dan Arswendo Atmowiloto, umat Islam di seluruh dunia—tidak saja di Indonesia—memberikan reaksi keras terhadap kasus karikatur Nabi di atas. Reaksi itu muncul dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri kita lihat kecaman pemerintah Indonesia, MUI, ORMAS NU, ORMAS Muhammadiyah, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan unsur keagamaan lainnya. Dari luar negeri kita, misalnya, membaca kecaman dari Arab Saudi, Parlemen Pakistan yang mengeluarkan resolusi mengutuk, rakyat Palestina, dan negara Islam lainnya, sampai kepada Sekjen PBB Kofi Annan yang merasa prihatin dengan kasus ini. Bahkan, pemerintahan Amerika pun mengecamnya dan menilainya sebagai pelecehan yang tidak dapat diterima (Media Indonesia, 3 Pebruari 2006). Kecaman yang mendunia terhadap kasus ini dikhawatirkan akan bermuara pada konflik agama.
Mengapa Melecehkan?
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad bukan merupakan sosok manusia biasa. Ia adalah sosok luar biasa karena posisinya sebagai pembawa risalah dan penyampai sabda Allah. Ia merupakan sosok pembawa kebaikan bagi semesta alam (rahmatan lil`alamin). Ketika namanya disebut, umat Islam memanjatkan doa baginya sebagai simbol pengagungan. Karenanya, ia harus dihormati dan dimuliakan. Nabi merupakan simbol keberagamaan umat Islam yang harus dimuliakan oleh siapa saja, termasuk oleh orang-orang non-Muslim. Begitu pentingnya posisi Nabi bagi umat Islam, sehingga namanya disertakan dalam ungkapan syahadatayn (dua kalimat persaksian). Nabi tidak saja mulia dari sisi akhlak, tetapi juga mulia dari sisi fisik. Sebuah kitab klasik Al-Barjanji misalnya menggambarkan begitu sempurnanya gambaran fisik Nabi sehingga sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ketika sosok mulia itu dilukis dalam bentuk karikatur—apalagi dengan motivasi yang negatif, maka pembuatnya berarti telah melecehkan Nabi, melecehkan simbol agama Islam, dan melukai perasaan umat Islam.
Memang ada banyak alasan kenapa para ulama mengharamkan memunculkan sosok Nabi dalam bentuk gambar apalagi karikatur. Di samping menghindari pengkultusan individu, juga menghindari gambaran-gambaran yang mengurangi—apalagi melecehkan—kesempurnaan sosok Nabi. Nabi, ka`bah, mesjid, dan lainnya merupakan simbol keberagamaan yang dihormati umat Islam. Tak boleh seorang pun melecehkannya dengan dalih apapun, termasuk dalih kebebasan berekspresi.
Antara Toleransi Beragama dan Kebebasan Berekspresi
Memuat karikatur Nabi dalam media publik dengan dalih kebebasan berekspresi semakin membuka ruang perdebatan sejauh mana seseorang bebas berekspresi? Apakah kebebasan berekspresi itu dapat melanggar batas-batas toleransi agama? Juga, kasus ini semakin memberi penegasan mengenai pentingnya menentukan batasan-batasan toleransi beragama? Saya kira toleransi beragama itu bukan hanya mencari sisi kesamaan atau titik temu dari agama-agama, tetapi juga saling menghormati simbol agama masing-masing. Semua agama pasti memiliki simbol-simbol keagamaan yang harus dimuliakan oleh pemeluknya dan tetap harus dihormati oleh para pemeluk agama lainnya.
Kebebasan berekspresi dan toleransi seharusnya menjalin hubungan yang serasi, bukan hubungan vis a vis. Ada wilayah-wilayah tertentu yang tidak boleh disentuh oleh kebebasan berekspresi. Wilayah itu adalah apa yang dinamakan subyektivitas keberagamaan. Bagi orang-orang non-Islam, memang sosok Nabi Muhammad mungkin tidak berbeda dengan sosok-sosok manusia lainnya yang karenanya bebas diekspresikan, tetapi itu berbeda bagi orang-orang Islam. Di sana ada subyektivitas. Justru di sinilah kearifan toleransi beragama. Kita lihat, umpamanya, pemimpin Jyllands Posten, Carsten Juste, berpendapat bahwa 12 gambar kartun itu biasa-biasa saja dan tidak dimaksudkan untuk menyinggung perasaan siapapun. Tetapi ternyata yang terjadi adalah justru menyinggung perasaan umat Islam. Kenapa itu terjadi? Karena ada subyektivitas keberagamaan yang dilanggar.
Diperlukan Kearifan Bersama
Ada himbauan baik dari Sekjen PBB Kofi Annan agar umat Islam di seluruh dunia menerima permohonan maaf dari pihak surat kabar yang memuat kartun Nabi Muhammad saw. Ini adalah himbauan yang baik. Namun, sebaiknya himbauan serupa dialamatkan kepada media-media Barat agar tidak mengulangi kasus serupa. Diperlukan kearifan bersama. Bagi umat Islam, kasus karikatur memang sangat menyinggung perasaan, tetapi semoga ada kearifan dari berbagai pihak untuk tidak melakukan tindakan-tindakan balas dendam dengan merusak simbol-simbol keagamaan tertentu. Sebaliknya, pihak media Barat yang nota bene dikelola oleh non-muslim, juga harus memiliki kearifan untuk tidak melecehkan simbol-simbol keberagamaan umat Islam. Dalih kebebasan berekspresi hendaknya tidak melahirkan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap toleransi beragama.
Permohonan maaf dari Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh, atas kasus di atas memang belum cukup untuk menghilangkan rasa sakit umat Islam, tetapi setidak-tidaknya hal itu menunjukan itikad baik dari Denmark itu sendiri. Menerima permohonan maaf tidak berarti berhenti berjuang dan mendesak agar ada sangsi sebagai efek jera kepada siapa saja yang melakukan pelecehan terhadap simbol-simbol keagamaan. Dan sambil terus mendesak agar ada sangsi itu segera ditegakkan, mari kita perlihatkan kebesaran Islam yang sangat menonjolkan kearifan.[]
QURBAN DALAM BINGKAI HISTORIS
Ritual qurban yang biasa dilaksanakan umat Islam pada setiap hari raya `Idul Adha, yang dalam perspektif al-Qur'an sebagai manifestasi rasa syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan Allah secara melimpah (a`thaina al-kautsar) kepada hamba-hamba-Nya, ternyata tidak hanya merupakan upacara religius (religious ceremony) yang terdapat dalam tradisi Islam saja, tetapi mempunyai akar sejarah pada umat-umat terdahulu. Al-Qur'an surat al-Hajj ayat 34 menyatakan, “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”
Bila kita menelusuri perjalanan qurban yang dilaksanakan oleh kedua anak Adam, Qabil dan Habil, di sanalah kita menemukan tradisi qurban bermula. Al-kisah, keduanya bersengketa tentang bakal calon istrinya. Sebagai penyelesaianya, Adam menyuruh keduanya mengeluarkan qurban untuk Allah. Qurban Qabil yang berupa hewan sangat tua ditolak-Nya, sedangkan qurban Habil berupa hasil-hasil tanaman yang baik diterima-Nya. Al-Qur'an merekam kisah perjalanan qurban mereka secara global pada surat al-Ma’idah ayat 27, “Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".
Ritual qurban serupa dilaksanakan oleh Nabi Nuh beserta umatnya setelah bencana angin topan yang melanda umatnya yang durhaka reda. Mereka mengurbankan beberapa hewan yang langsung dibakar di tempat pengorbanan. Ritual qurban juga dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim yang sering dikait-kaitkan secara langsung dengan ritual qurban yang biasa dilaksanakan umat Islam sekarang.
Satu riwayat mengatakan bahwa Nabi Ibrahim pernah berqurban berupa 1000 kambing, 300 sapi, dan 100 unta. Kebaikannya itu mengundang rasa kagum orang-orang di sekitarnya dan juga—menurut kisah—para malaikat yang berada di langit. Mensikapi kekaguman mereka, Nabi Ibrahim berkata, “Apa yang telah saya korbankan sebanyak itu tidak berarti apa-apa bagiku. Demi Allah, seandainya saya punya anak, aku akan menyembelihnya untuk dipersembahkan kepada Allah.” Allah menagih janji Ibrahim melalui mimpinya selama tiga malam berturut-turut, untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail. Melalui perenungan yang berulangkali, akhirnya Ibrahim memutuskan untuk melaksanakan perintah Allah yang akhirnya Ismail digantikan oleh Allah dengan seekor kambing dari surga. Secara berturut-turut al-Qur'an surat ash-Shaffat dari ayat 100 sampai 113 menuturkan perjalanan kisah pengorbanan Ismail tersebut.
Rentetan peristiwa penyembelihan Ismail dimulai dari bujukan Ibrahim terhadap putranya sampai pada detik-detik pelaksanaan penyembelihan yang akhirnya digantikan oleh seekor kambing itu, sebagiannya ditetapkan sebagai salah satu ritual dalam Islam. Lempar batu (jumrah) pada pelaksanaan haji, umpamanya, merupakan simbol pelemparan Ismail terhadap Iblis dengan batu yang terus membujuknya agar tidak menaati perintah bapaknya. Hewan sembelihan (qurban) yang dilaksanakan oleh umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji atau pun yang tidak, juga merupakan simbol pengorbanan Ibrahim. Dan ucapan-ucapan suci (kalimah thayyibah) yang terus berkumandang tiga hari tasrik berturut-turut juga merupakan simbol tasbih, takbir, dan tahlil yang diucapkan Ibrahim, Ismail dan Malaikat.
Ritual qurban yang dilaksanakan Ibrahim diikuti oleh keturunannya dengan praktek penyembelihan hewan-hewan qurban yang seterusnya dibakar. Tradisi mereka terus berlanjut sampai diutusnya Nabi Musa kepada mereka. Dalam tradisi Musa dan kaumnya dikenal dua macam jenis qurban. Pertama, qurban yang berupa binatang yang diperuntukkan bagi Allah. Kedua, jenis qurban berupa hasil-hasil tanaman yang disimpangkan oleh sebagian pengikutnya untuk dipersembahkan kepada patung-patung. Qurban jenis kedua ini nantinya dihapus habis oleh syari’at Islam. Masih dalam tradisi umat Musa, jenis qurban yang pertama di atas dibagi pula menjadi tiga macam. Pertama, sembelihan qurban yang diperuntukkan untuk dibakar (ad-dzabihah al-muharraqah). Mereka tidak mengambil sedikit pun dagingnya kecuali kulitnya yang dikhususkan untuk kahin-kahin mereka. Kedua, hewan-hewan qurban sembelihan yang dimaksudkan untuk menghapus dosa-dosa mereka (dzabihah at-takfir ‘an al-khathayaya) yang sebagian dagingnya dibakar dan sebagian lainnya dimakan oleh kahin-kahin mereka. Dan ketiga, sembelihan qurban demi keselamatan mereka (dzabihah as-salamah) yang dagingnya dihalalkan bagi mereka. (Lihat Ahmad az-Zarjawy, Hikmah at-tasyri’ wa Falsafatuhu, juz I, hal. 291-292)
Ketika praktek penyembahan patung-patung dan bintang hilang dari upacara keagamaan manusia (human religious ceremony) umat terdahulu, benda-benda yang diqurbankan adalah berupa hasil-hasil tanaman yang dibakar. Dalam tradisi Yunani dikenal penaburan garam di atas pembakaran qurban sebagai simbol derma mereka. Sedangkan dalam tradisi Romawi masih dipraktekkan penyembelihan hewan-hewan qurban bagi tuhan-tuhan mereka. Orang-orang yang hadir dalam ritual pengorbanan Romawi tersebut dianjurkan mengambil daging sembelihan untuk dijadikan ‘tabarruk’ dari tuhan mereka. Selama upacara itu berlangsung, kahin-kahin memercikan air madu dan air bunga kepada orang-orang yang hadir. Praktek semacam ini masih ditemukan pada upacara keagamaan sekarang di Romawi.
Dalam sejarahnya, ternyata tradisi qurban tidak hanya berupa hewan saja, tetapi juga sampai pada megurbankan manusia. Praktek ini pernah menjadi tradisi di Faris, Romania, dan Mesir Kuno. Bahkan praktek anomali itu pernah berlangsung lama di daratan Eropa sampai dikeluarkannya undang-undang Romanisa pada tahun 657 M. yang melarang keberlakuan tradiis itu. Sebelumnya, raja Faris sering mempersembahkan qurban manusia untuk tuhannya mempersembahkan seorang gadis yang telah dihiasi sedemikian rupa untuk ditenggelamkan di tengah-tengah sungai Nil yang dipercayainya sebagai sesembahan mereka. Tradisi pengorbanan Mesir akhirnya dihapuskan oleh Umar bin ‘Ash pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Suruhan qurban dalam Islam secara nash bisa kita temukan secara eksplisit pada al-Qur'an surat al-Kautsar ayat 1-3, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah solat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” Kata “wanhar” dalam ayat ini menurut ulama tafsir Ibnu Katsir adalah suruhan untuk melaksanakan ritual qurban. Klesimpulan ini seiring dengan statemen Nabi, “Barangsiapa menyembelih qurban setelah solat ‘Idul Adha, ia telah melaksanakan qurban”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz IV, hal. 559)
Dari hasil studi komparatif kita terhadap praktek qurban pada umat-umat terdahulu, kita bisa membuktikan bahwa umat Islam, dengan berpijak pada Qur’an dan Hadits, adalah umat yang pertama kali melarang praktek qurban berupa manusia. Qurban yang dikeluarkan pun hanya sebatas pada binatang-binatang ternak seperti unta, sapi, dan kambing. Qurban dalam Islam dilaksanakan pada tanggal 10-11-12 bulan Dzulhijjah dengan upacara religius tertentu yang tentu seiring dengan ajaran Islam sendiri. Daging sembelihan itu seterusnya tidak dibakar atau hanya konsumsi khusus bagi kahin-kahin tertentu seperti dalam tradisi umat terdahulu, tetapi dibagikan kepada orang-orang yang benar-benar sangat membutuhkan. Qurban dalam kebiasaan umat Muhammad tidak hanya berdimensi religius, tetapi juga berdimensi sosial. *** (Dr. Rosihon Anwar. Dimuat di Harian Republika, 05 Desember 2008).
Bila kita menelusuri perjalanan qurban yang dilaksanakan oleh kedua anak Adam, Qabil dan Habil, di sanalah kita menemukan tradisi qurban bermula. Al-kisah, keduanya bersengketa tentang bakal calon istrinya. Sebagai penyelesaianya, Adam menyuruh keduanya mengeluarkan qurban untuk Allah. Qurban Qabil yang berupa hewan sangat tua ditolak-Nya, sedangkan qurban Habil berupa hasil-hasil tanaman yang baik diterima-Nya. Al-Qur'an merekam kisah perjalanan qurban mereka secara global pada surat al-Ma’idah ayat 27, “Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".
Ritual qurban serupa dilaksanakan oleh Nabi Nuh beserta umatnya setelah bencana angin topan yang melanda umatnya yang durhaka reda. Mereka mengurbankan beberapa hewan yang langsung dibakar di tempat pengorbanan. Ritual qurban juga dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim yang sering dikait-kaitkan secara langsung dengan ritual qurban yang biasa dilaksanakan umat Islam sekarang.
Satu riwayat mengatakan bahwa Nabi Ibrahim pernah berqurban berupa 1000 kambing, 300 sapi, dan 100 unta. Kebaikannya itu mengundang rasa kagum orang-orang di sekitarnya dan juga—menurut kisah—para malaikat yang berada di langit. Mensikapi kekaguman mereka, Nabi Ibrahim berkata, “Apa yang telah saya korbankan sebanyak itu tidak berarti apa-apa bagiku. Demi Allah, seandainya saya punya anak, aku akan menyembelihnya untuk dipersembahkan kepada Allah.” Allah menagih janji Ibrahim melalui mimpinya selama tiga malam berturut-turut, untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail. Melalui perenungan yang berulangkali, akhirnya Ibrahim memutuskan untuk melaksanakan perintah Allah yang akhirnya Ismail digantikan oleh Allah dengan seekor kambing dari surga. Secara berturut-turut al-Qur'an surat ash-Shaffat dari ayat 100 sampai 113 menuturkan perjalanan kisah pengorbanan Ismail tersebut.
Rentetan peristiwa penyembelihan Ismail dimulai dari bujukan Ibrahim terhadap putranya sampai pada detik-detik pelaksanaan penyembelihan yang akhirnya digantikan oleh seekor kambing itu, sebagiannya ditetapkan sebagai salah satu ritual dalam Islam. Lempar batu (jumrah) pada pelaksanaan haji, umpamanya, merupakan simbol pelemparan Ismail terhadap Iblis dengan batu yang terus membujuknya agar tidak menaati perintah bapaknya. Hewan sembelihan (qurban) yang dilaksanakan oleh umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji atau pun yang tidak, juga merupakan simbol pengorbanan Ibrahim. Dan ucapan-ucapan suci (kalimah thayyibah) yang terus berkumandang tiga hari tasrik berturut-turut juga merupakan simbol tasbih, takbir, dan tahlil yang diucapkan Ibrahim, Ismail dan Malaikat.
Ritual qurban yang dilaksanakan Ibrahim diikuti oleh keturunannya dengan praktek penyembelihan hewan-hewan qurban yang seterusnya dibakar. Tradisi mereka terus berlanjut sampai diutusnya Nabi Musa kepada mereka. Dalam tradisi Musa dan kaumnya dikenal dua macam jenis qurban. Pertama, qurban yang berupa binatang yang diperuntukkan bagi Allah. Kedua, jenis qurban berupa hasil-hasil tanaman yang disimpangkan oleh sebagian pengikutnya untuk dipersembahkan kepada patung-patung. Qurban jenis kedua ini nantinya dihapus habis oleh syari’at Islam. Masih dalam tradisi umat Musa, jenis qurban yang pertama di atas dibagi pula menjadi tiga macam. Pertama, sembelihan qurban yang diperuntukkan untuk dibakar (ad-dzabihah al-muharraqah). Mereka tidak mengambil sedikit pun dagingnya kecuali kulitnya yang dikhususkan untuk kahin-kahin mereka. Kedua, hewan-hewan qurban sembelihan yang dimaksudkan untuk menghapus dosa-dosa mereka (dzabihah at-takfir ‘an al-khathayaya) yang sebagian dagingnya dibakar dan sebagian lainnya dimakan oleh kahin-kahin mereka. Dan ketiga, sembelihan qurban demi keselamatan mereka (dzabihah as-salamah) yang dagingnya dihalalkan bagi mereka. (Lihat Ahmad az-Zarjawy, Hikmah at-tasyri’ wa Falsafatuhu, juz I, hal. 291-292)
Ketika praktek penyembahan patung-patung dan bintang hilang dari upacara keagamaan manusia (human religious ceremony) umat terdahulu, benda-benda yang diqurbankan adalah berupa hasil-hasil tanaman yang dibakar. Dalam tradisi Yunani dikenal penaburan garam di atas pembakaran qurban sebagai simbol derma mereka. Sedangkan dalam tradisi Romawi masih dipraktekkan penyembelihan hewan-hewan qurban bagi tuhan-tuhan mereka. Orang-orang yang hadir dalam ritual pengorbanan Romawi tersebut dianjurkan mengambil daging sembelihan untuk dijadikan ‘tabarruk’ dari tuhan mereka. Selama upacara itu berlangsung, kahin-kahin memercikan air madu dan air bunga kepada orang-orang yang hadir. Praktek semacam ini masih ditemukan pada upacara keagamaan sekarang di Romawi.
Dalam sejarahnya, ternyata tradisi qurban tidak hanya berupa hewan saja, tetapi juga sampai pada megurbankan manusia. Praktek ini pernah menjadi tradisi di Faris, Romania, dan Mesir Kuno. Bahkan praktek anomali itu pernah berlangsung lama di daratan Eropa sampai dikeluarkannya undang-undang Romanisa pada tahun 657 M. yang melarang keberlakuan tradiis itu. Sebelumnya, raja Faris sering mempersembahkan qurban manusia untuk tuhannya mempersembahkan seorang gadis yang telah dihiasi sedemikian rupa untuk ditenggelamkan di tengah-tengah sungai Nil yang dipercayainya sebagai sesembahan mereka. Tradisi pengorbanan Mesir akhirnya dihapuskan oleh Umar bin ‘Ash pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Suruhan qurban dalam Islam secara nash bisa kita temukan secara eksplisit pada al-Qur'an surat al-Kautsar ayat 1-3, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah solat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” Kata “wanhar” dalam ayat ini menurut ulama tafsir Ibnu Katsir adalah suruhan untuk melaksanakan ritual qurban. Klesimpulan ini seiring dengan statemen Nabi, “Barangsiapa menyembelih qurban setelah solat ‘Idul Adha, ia telah melaksanakan qurban”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz IV, hal. 559)
Dari hasil studi komparatif kita terhadap praktek qurban pada umat-umat terdahulu, kita bisa membuktikan bahwa umat Islam, dengan berpijak pada Qur’an dan Hadits, adalah umat yang pertama kali melarang praktek qurban berupa manusia. Qurban yang dikeluarkan pun hanya sebatas pada binatang-binatang ternak seperti unta, sapi, dan kambing. Qurban dalam Islam dilaksanakan pada tanggal 10-11-12 bulan Dzulhijjah dengan upacara religius tertentu yang tentu seiring dengan ajaran Islam sendiri. Daging sembelihan itu seterusnya tidak dibakar atau hanya konsumsi khusus bagi kahin-kahin tertentu seperti dalam tradisi umat terdahulu, tetapi dibagikan kepada orang-orang yang benar-benar sangat membutuhkan. Qurban dalam kebiasaan umat Muhammad tidak hanya berdimensi religius, tetapi juga berdimensi sosial. *** (Dr. Rosihon Anwar. Dimuat di Harian Republika, 05 Desember 2008).
SPIRITUALITAS PENGELOLAAN ALAM
Barangkali di sana ada jawabnya,
mengapa di tanahku terjadi bencana,
mungkin Tuhan mulai bosan,
melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa,
atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita,
coba kita bertanya kepada rumput yang bergoyang.
Syair-syair lagu ciptaan Ebiet G. Ade di atas memang pas dengan konteks Indonesia sekarang, Indonesia yang sedang menderita. Ibu pertiwi kita benar-benar sedang menangis melihat bencana yang terjadi di mana-mana.
Sudah jatuh ketimpa tangga lagi. Begitu kira-kira apa yang sedang dialami rakyat Indonesia. Belum lagi sempat bernafas menghadapi berbagai bencana alam yang bertubi-tubi silih berdatangan, tiba-tiba banjir melanda mereka menghabiskan semuanya, pakaian, alat rumah tangga, bahkan nyawa anggota keluarganya. Penderitaan yang bertubi-tubi menimpa rakyat Indonesia semakin memupus kesan Indonesia yang damai dan tentram. Banjir yang terjadi di mana-mana semakin memperlihatkan borok-borok negeri tercinta kita ini.
Lalu, siapa yang harus disalahkah dan bertanggung jawab terhadap semua penderitaan-penderitaan itu? Apakah pemerintah yang kurang baik menangani kebijakan-kebijakan lingkungan alam, atau rakyat yang membuang sampah sembarangan? Tentu saja bukan saatnya lagi saling menyalahkan. Yang terpenting dilakukan sekarang adalah bagaimana pemerintah bersama rakyat bersama-sama berpikir bagaimana caranya agar bencana banjir tidak terulang lagi. Atau bagaimana caranya meminimalisirnya.
Ada beberapa perspektif yang dapat diajukan sebagai kaca mata untuk melihat bencana banjir sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan rakyat untuk melihat ulang (review) lingkungan alam sekitar. Salah satunya adalah perspektif agama. Dalam perspektif agama Islam, hubungan antara manusia dan alam adalah antara yang memimpin (khalifah) dan yang dipimpin. Sebagai pemimpin, manusia ditugasi mengurus dan mengelola potensi bumi dan seisinya untuk dijadikan sarana takwa kepada Allah SWT. Tentang hubungan antara manusia sebagai khalifah dan alam sebagai yang dipimpin menarik untuk dicatat pendapat Quraish Shihab. Kekhalifahan, menurutnya, menuntut adanya interaksi antara manusia dan sesamanya serta alam secara harmonis. Hubungan antara manusa dan alam bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukan atau antara tuan dan hamba yang karenanya akan melahirkan eksploitasi alam. Allah memandang keduanya dalam kondisi yang sama, tidak membeda-bedakan. Oleh sebab itu, yang sesungguhnya menguasai alam itu adalah Allah. Kekhalifahan itu mengandung arti bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaan-Nya.
Di sisi lain harus diingat pula bahwa kekhilafahan mengandung arti “bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya”. Dalam pandangan agama, seseorang tidak dibenarkan memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan dan bungan sebelum berkembang, karena hal itu berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk ini untuk mencapai tujuannya. Islam menekankan bahwa alam raya mempunyai tujuan penciptaan, "Kami tidak ciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya dengan bermain-main (QS. 44:38). Kami tidak ciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya kecuali dengan (tujuan) yang hak dalam waktu yang ditentukan." (QS. 46:3).
Sebagai orang yang beragama, kita ditugasi untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau sejenisnya. Tetapi kita harus berpikir dan bersikap untuk kemaslahatan semua pihak. Kita tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Etika agama terhadap alam mengantar kita untuk bertanggung jawab sehingga tidak melakukan perusakan. Atau dengan kata lain, perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan terhadap diri sendiri. Bukankah Tuhan mengecam sikap perusakan di bumi?
Etika agama mengajarkan kita bahwa alam bukan semata-mata alat untuk mencapai tujuan konsumtif. Etika yang diajarkan agama terhadap alam mengantarkan kita untuk membatasi diri sehingga tidak terjerumus ke dalam pemborosan. Nabi Muhammad pernah bersabda,
“Tiada kebaikan dalam pemborosan, dan tiada pemborosan dalam kebaikan”, “Sesungguhnya orang-orang yang boros adalah saudara-saudara setan.”
Jadi, dalam perspektif Islam, apa pun bentuk pengelolaan alam harus berdimensi teologis. Artinya, hasil atau target pengelolaan alam semata-mata untuk beribadah kepada Tuhan. Karena untuk ibadah, pengelolaan alam seharusnya tidak melahirkan dampak-dampak yang malahan akan melahirkan dosa-dosa berupa dampak lingkungan yang merugikan orang lain. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah tentang AMDAL wajib diperhatikan oleh semua pengelola alam bukan saja dari aspek administrasi kenegaraan, tetapi juga dari aspek keagamaan.
Pengelolaan alam secara eksploitatif dan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, baik yang segenerasi atau generasi berikutnya, benar-benar merupakan pelanggaran yang sangat besar terhadap agama. Dalam terminologi Islam, orang-orang yang melakukannya disebut dengan mufsidin (orang-orang yang melakukan fasad, para perusak bumi). Al-Fasad, menurut para penjelas al-Qur'an, adalah perbuatan merusak alam yang dampaknya dirasakan orang banyak. Seperti penebangan hutan secara liar, atau membuang sampah di tempat mengalirnya air, atau yang lainnya, yang berdampak banjir yang dirasakan banyak orang. Allah SWT. berfirman, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (Q.S. al-Rum [30]:41)
Telah terjadi kerusakan di bumi dan lautan akibat ulah tangan manusia (Al-Qur'an). Dampaknya, sebagaimana ditulis dalam syair lagu Ebiet G. Ade di atas, Tuhan murka dan alam sudah tidak mau bersahabat lagi dengan kita. Bencana pun lalu terjadi di mana-mana.
Sampai di sini, marilah kita melihat bencana banjir tidak saja dari faktor alam, tetapi juga dari faktor spiritualitas agama. Boleh jadi banjir yang sedang menimpa sebagian kita merupakan buah murka Tuhan, di samping pengelolaan alam yang buruk. Pengelolaan alam yang buruk dan murka Tuhan berupa banjir sendiri bukan merupakan dua hal yang terpisah, tetapi dua hal yang dihubungkan dengan sebab-akibat (kausalitas). Dan ini dapat dikaitkan dengan bencana apa saja selain banjir. Artinya, setiap pelanggaran yang kita lakukan menyebabkan kerugian bagi kita sendiri. Semakin besar pelanggaran yang dilakukan, semakin besar kerugian yang akan datang. Dalam al-Qur'an dinyatakan dengan tegas bahwa apa pun bencana yang menimpa, itu karena ulah kita sendiri.
Dalam sejarah umat, memang Tuhan berulang kali menurunkan bencana banjir ketika murka. Skenarionya sama. Tuhan mengutus nabi untuk menyampaikan pesan, tetapi umatnya menolak. Tidak cukup itu saja, mereka bahkan melecehkan dan bangga atas perbuatannya itu. Baca kisah Nabi Nuh a.s. dan umatnya. Skenario itu boleh jadi sedang kita jalankan. Kita sudah berani melanggar aturan-aturan Tuhan. Tidak itu saja, kita bahkan bangga dengannya. Kita tahu bahwa merusak alam itu merupakan pelanggaran besar terhadap agama, tetapi kita langgar. Kita tahu bahwa membuang sampah sembarangan itu tidak baik, tetapi kita langgar. Kita tahu…, tetapi kita… Kita tahu…, tetapi kita… Kita tahu…, tetapi kita… (silahkan isi dengan dosa-dosa yang pernah kita lakukan). Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.
Kenapa banjir menimpa kita? Jangan bertanya kepada rumput yang bergoyang. Tanyalah kepada kita sendiri. Sudah saatnya kita berpikir bijak terhadap alam sekitar kita. Sudah saatnya pula kita menilai bahwa perusakan lingkungan berarti pelanggaran agama yang besar. Sudah saatnya pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan pelanggaran terhadap agama. Sudah saatnya kita menilai bahwa memelihara lingkungan berarti beribadah kepada Tuhan. (Dr. Rosihon Anwar, dimuat di Harian Pikiran Rakyat).
mengapa di tanahku terjadi bencana,
mungkin Tuhan mulai bosan,
melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa,
atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita,
coba kita bertanya kepada rumput yang bergoyang.
Syair-syair lagu ciptaan Ebiet G. Ade di atas memang pas dengan konteks Indonesia sekarang, Indonesia yang sedang menderita. Ibu pertiwi kita benar-benar sedang menangis melihat bencana yang terjadi di mana-mana.
Sudah jatuh ketimpa tangga lagi. Begitu kira-kira apa yang sedang dialami rakyat Indonesia. Belum lagi sempat bernafas menghadapi berbagai bencana alam yang bertubi-tubi silih berdatangan, tiba-tiba banjir melanda mereka menghabiskan semuanya, pakaian, alat rumah tangga, bahkan nyawa anggota keluarganya. Penderitaan yang bertubi-tubi menimpa rakyat Indonesia semakin memupus kesan Indonesia yang damai dan tentram. Banjir yang terjadi di mana-mana semakin memperlihatkan borok-borok negeri tercinta kita ini.
Lalu, siapa yang harus disalahkah dan bertanggung jawab terhadap semua penderitaan-penderitaan itu? Apakah pemerintah yang kurang baik menangani kebijakan-kebijakan lingkungan alam, atau rakyat yang membuang sampah sembarangan? Tentu saja bukan saatnya lagi saling menyalahkan. Yang terpenting dilakukan sekarang adalah bagaimana pemerintah bersama rakyat bersama-sama berpikir bagaimana caranya agar bencana banjir tidak terulang lagi. Atau bagaimana caranya meminimalisirnya.
Ada beberapa perspektif yang dapat diajukan sebagai kaca mata untuk melihat bencana banjir sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan rakyat untuk melihat ulang (review) lingkungan alam sekitar. Salah satunya adalah perspektif agama. Dalam perspektif agama Islam, hubungan antara manusia dan alam adalah antara yang memimpin (khalifah) dan yang dipimpin. Sebagai pemimpin, manusia ditugasi mengurus dan mengelola potensi bumi dan seisinya untuk dijadikan sarana takwa kepada Allah SWT. Tentang hubungan antara manusia sebagai khalifah dan alam sebagai yang dipimpin menarik untuk dicatat pendapat Quraish Shihab. Kekhalifahan, menurutnya, menuntut adanya interaksi antara manusia dan sesamanya serta alam secara harmonis. Hubungan antara manusa dan alam bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukan atau antara tuan dan hamba yang karenanya akan melahirkan eksploitasi alam. Allah memandang keduanya dalam kondisi yang sama, tidak membeda-bedakan. Oleh sebab itu, yang sesungguhnya menguasai alam itu adalah Allah. Kekhalifahan itu mengandung arti bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaan-Nya.
Di sisi lain harus diingat pula bahwa kekhilafahan mengandung arti “bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya”. Dalam pandangan agama, seseorang tidak dibenarkan memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan dan bungan sebelum berkembang, karena hal itu berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk ini untuk mencapai tujuannya. Islam menekankan bahwa alam raya mempunyai tujuan penciptaan, "Kami tidak ciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya dengan bermain-main (QS. 44:38). Kami tidak ciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya kecuali dengan (tujuan) yang hak dalam waktu yang ditentukan." (QS. 46:3).
Sebagai orang yang beragama, kita ditugasi untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau sejenisnya. Tetapi kita harus berpikir dan bersikap untuk kemaslahatan semua pihak. Kita tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Etika agama terhadap alam mengantar kita untuk bertanggung jawab sehingga tidak melakukan perusakan. Atau dengan kata lain, perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan terhadap diri sendiri. Bukankah Tuhan mengecam sikap perusakan di bumi?
Etika agama mengajarkan kita bahwa alam bukan semata-mata alat untuk mencapai tujuan konsumtif. Etika yang diajarkan agama terhadap alam mengantarkan kita untuk membatasi diri sehingga tidak terjerumus ke dalam pemborosan. Nabi Muhammad pernah bersabda,
“Tiada kebaikan dalam pemborosan, dan tiada pemborosan dalam kebaikan”, “Sesungguhnya orang-orang yang boros adalah saudara-saudara setan.”
Jadi, dalam perspektif Islam, apa pun bentuk pengelolaan alam harus berdimensi teologis. Artinya, hasil atau target pengelolaan alam semata-mata untuk beribadah kepada Tuhan. Karena untuk ibadah, pengelolaan alam seharusnya tidak melahirkan dampak-dampak yang malahan akan melahirkan dosa-dosa berupa dampak lingkungan yang merugikan orang lain. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah tentang AMDAL wajib diperhatikan oleh semua pengelola alam bukan saja dari aspek administrasi kenegaraan, tetapi juga dari aspek keagamaan.
Pengelolaan alam secara eksploitatif dan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, baik yang segenerasi atau generasi berikutnya, benar-benar merupakan pelanggaran yang sangat besar terhadap agama. Dalam terminologi Islam, orang-orang yang melakukannya disebut dengan mufsidin (orang-orang yang melakukan fasad, para perusak bumi). Al-Fasad, menurut para penjelas al-Qur'an, adalah perbuatan merusak alam yang dampaknya dirasakan orang banyak. Seperti penebangan hutan secara liar, atau membuang sampah di tempat mengalirnya air, atau yang lainnya, yang berdampak banjir yang dirasakan banyak orang. Allah SWT. berfirman, "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (Q.S. al-Rum [30]:41)
Telah terjadi kerusakan di bumi dan lautan akibat ulah tangan manusia (Al-Qur'an). Dampaknya, sebagaimana ditulis dalam syair lagu Ebiet G. Ade di atas, Tuhan murka dan alam sudah tidak mau bersahabat lagi dengan kita. Bencana pun lalu terjadi di mana-mana.
Sampai di sini, marilah kita melihat bencana banjir tidak saja dari faktor alam, tetapi juga dari faktor spiritualitas agama. Boleh jadi banjir yang sedang menimpa sebagian kita merupakan buah murka Tuhan, di samping pengelolaan alam yang buruk. Pengelolaan alam yang buruk dan murka Tuhan berupa banjir sendiri bukan merupakan dua hal yang terpisah, tetapi dua hal yang dihubungkan dengan sebab-akibat (kausalitas). Dan ini dapat dikaitkan dengan bencana apa saja selain banjir. Artinya, setiap pelanggaran yang kita lakukan menyebabkan kerugian bagi kita sendiri. Semakin besar pelanggaran yang dilakukan, semakin besar kerugian yang akan datang. Dalam al-Qur'an dinyatakan dengan tegas bahwa apa pun bencana yang menimpa, itu karena ulah kita sendiri.
Dalam sejarah umat, memang Tuhan berulang kali menurunkan bencana banjir ketika murka. Skenarionya sama. Tuhan mengutus nabi untuk menyampaikan pesan, tetapi umatnya menolak. Tidak cukup itu saja, mereka bahkan melecehkan dan bangga atas perbuatannya itu. Baca kisah Nabi Nuh a.s. dan umatnya. Skenario itu boleh jadi sedang kita jalankan. Kita sudah berani melanggar aturan-aturan Tuhan. Tidak itu saja, kita bahkan bangga dengannya. Kita tahu bahwa merusak alam itu merupakan pelanggaran besar terhadap agama, tetapi kita langgar. Kita tahu bahwa membuang sampah sembarangan itu tidak baik, tetapi kita langgar. Kita tahu…, tetapi kita… Kita tahu…, tetapi kita… Kita tahu…, tetapi kita… (silahkan isi dengan dosa-dosa yang pernah kita lakukan). Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.
Kenapa banjir menimpa kita? Jangan bertanya kepada rumput yang bergoyang. Tanyalah kepada kita sendiri. Sudah saatnya kita berpikir bijak terhadap alam sekitar kita. Sudah saatnya pula kita menilai bahwa perusakan lingkungan berarti pelanggaran agama yang besar. Sudah saatnya pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan pelanggaran terhadap agama. Sudah saatnya kita menilai bahwa memelihara lingkungan berarti beribadah kepada Tuhan. (Dr. Rosihon Anwar, dimuat di Harian Pikiran Rakyat).
Buku Pinter Tasawuf
A
'ABD
Hamba, budak. Dalam istilah keagamaan menunjukkan arti menyembah (Tuhan); dan lebih umum lagi adalah makhluk yang bergantung pada Tuhannya (Rabb).
'AHD
`Ahd adalah janji murid terhadap syeikh untuk tidak berbuat maksiat yang dilarangya.
'AIN, AL-
Al-'ain berarti hakikat, penentuan pertama, mata, sumber, al-'ain ats-tsabitah, atau kadang-kadang disingkat secara sederhana al-'ain, hakikat yang kekal, pola dasar atau kemungkinan dasar suatu wujud atau benda, (jamaknya: al-a'ayan).
'AIN QALB, AL-
'Ain al-Qalb berarti 'mata-hati', organ intuisi intelektual (lihat juga: bashirah).
`ALAM AJSAM, AL-
`Alam al-Ajsam adalah dunia jasmani.
`ALAM ARWAH, AL-
`Alam al-arwah adalah "dunia roh (murni)", dibedakan dengan 'alam al-mitsal, "dunia kiasan" yang merupakan manifestasi formal dari suatu keseluruhan termasuk dunia psikis dan fisik.
'ALAM AL-HISS WA AL-SYAHADAH
'Alam al-hiss wa al-syahadah berarti alam kasat mata, alam yang bisa diindera dengan panca indera manusia.
`ALAM MALAKUT
`Alam malakut berarti alam para malaikat, yakni alam tempat qalb berdialog dengan Tuhannya. Alam malakut juga disebut alam atas (al-'âlam al-'alawî), alam ruhani (al-'âlam al-rûhanî) dan alam nurani (alam cahaya). Bagi para nabi, apabila mi'raj (kenaikan) mereka telah mencapai alam malakut, maka mereka telah sampai ke tempat pencapaian terakhir, dan dapat menyaksikan sejumlah fenomena alam ghaib. Menurut kaum sufi, misalnya al-Ghazali, barangsiapa yang berada di alam malakut pada hakekatnya ia berada di sisi Allah yang di tangan-Nya tergenggam semua kunci gaib. Yakni, hanya dari sisi-Nya semua penyebab adanya maujudat di alam syahadah ini diturunkan, dengan perkenan-Nya. Sebab alam syahadah adalah dihasilkan atau akibat dari alam malakut, seperti halnya bayang-bayang dari seseorang atau buah dari pohon yang berbuah, atau akibat dari suatu sebab. Maka dari itu, kunci-kunci pengetahuan tentang "akibat" ialah pengetahuan tentang "sebab" yang menimbulkannya. Berdasarkan hal itu, alam syahadah adalah misal (contoh) dari alam malakut.
Alam malakut merupakan rahasia gaib yang tidak tampak oleh pandangan mata karena hanya dapat ditangkap dengan ketajaman khusus, yaitu pandangan batin, dan ia juga tiada batas penghabisannya. Betul memang, yang nampak oleh hati itu hanyalah kadar yang terbatas, tetapi pada dirinya dan dengan dihubungkan kepada ilmu Allah, maka yang demikian itu tiada batas penghabisan baginya (Al-Ghazali, Ihyâ', Jilid III:14).
01 Februari 2009
SAMUDERA AL-QUR’AN
Lima Belas abad yang lalu terjadi dialog yang monemental antara Nabi dan para sahabatnya. Nabi bersabda, “Umatku akan menghadapi berbagai fitnah.” Para sahabat kontan bertanya, “Apa jalan keluarnya?” Nabi menjawab, “Al-Qur'an, karena di dalamnya terdapat informasi masa lampau dan ramalan masa depan.” Apa yang diramalkan Nabi 15 abad yang lampau ternyata benar-benar menjadi kenyataan. Umat Islam di Indonesia kini tengah di kepung berbagai fitnah, mulai dari hura-hara, kerusuhan, krisis, kemiskinan, dan sebagainya. Sayangnya, resep yang diberikan Nabi di atas sudah banyak dilupakan orang. Orang lebih percaya kepada makhluk dalam menyelesaikan masalah ketimbang al-Qur'an sebagai petunjuk Allah. Al-Qur'an tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya problem dalam menyelesaikan masalah. Tidak ada jalan lain untuk mengingatkan pesan Nabi di atas selain menunjukkan kembali umat Islam akan perlunya al-Qur'an sebagai rujukan utama dan pertama dalam menyelesaikan masalah hidupnya. Untuk menjadikan sebagai resep, al-Qur'an tidak cukup hanya dibaca atau di-musabaqah-kan pembacaannya, tetapi yang paling penting adalah dipelajari dan diamalkan. Atau, yang di-musabaqah-kan bukan saja pembacaannya, tetapi juga pengamalannya. Hal-hal di ataslah yang yang menjadi latar belakang kenapa buku Samudera al-Qur'an ditulis.
Kata “Samudera” yang digunakan untuk judul buku Samudera al-Qur'an (SQ) sengaja dipakai untuk menjelaskan bahwa al-Qur'an merupakan bahtera nan luas dan tak terbatas (bahr la sahila lah). Judul buku terilhami oleh sebuah karya tafsir besar berjudul al-Bahr al-Muhith (Samudera nan Luas) yang ditulis oleh Abu Hayyan (654-745 H.). Namun, isi SQ sangat jauh berbeda dengan Al-Bahr al-Muhith. Samudera al-Qur'an mungkin hanya sebuah kerikil dari Al-Bahr al-Muhith.
Dalam buku ini, sesungguhnya saya ingin menjelaskan bahwa al-Qur'an mengandung mutiara-mutiara yang terpendam. Mutiata-mutiara itu tidak pernah habis walaupun terus digali. Bayangkan, ribuan bahkan jutaan kitab tafsir pernah ditulis, tetapi mutiara al-Qur'an tidak pernah habis. Bahkan, semakin ke dalam seseorang menyelam, semakin banyak pula mutiara yang didapatkan. Inilah kemu`jizatan al-Qur'an. Satu ayat yang sama dapat dipahami sekaligus oleh beragam orang dengan tingkat kecerdasan yang beragam pula. Satu ayat yang sama dapat dipahami oleh berbagai generasi dengan kavasitas pemahamannya masing-masing. Sebagian kecil keagungan al-Qur'an ini saya kemukakan pada bagian pertama SQ. Keindahan al-Qur'an dari berbagai sisi tidak dapat ditandingi oleh siapa pun. Sejarah membuktikan bahwa setiap orang yang berusaha menandingi kehebatannya selalu berakhir dengan kegagalan. Ini pantas kalau kemudian al-Qur'an tidak saja dikagumi orang Islam sendiri, tetapi juga orang-orang Barat yang bukan Muslim.
Sekedar untuk membuktikan, berikut ini akan dikemukan beberapa kisah nyata. Di Amerika ada seorang bintang cantik yang jadi pujaan segala macam tingkatan manusia. Namanya Jodie Foster. Ia dilimpahi harta kekayaan yang juga melimpahi ibunya, Nyonya Foster. Tetapi perempuan separo baya ini tidak merasakan ketentraman dan selalu gelisah. Malah nyaris ingin melakukan bunuh diri. Pada suatu hari, tanpa sengaja ia membuka-buka sebuah buku aneh yang berjudul The Glorious Qur’an. Membaca kalimat pertama ia tidak mengerti maksudnya. Tetapi setelah beberapa halaman ditekuninya, ia makin tertarik dan merasakan kedamaian tanpa batas. Akhirnya dibelinya buku itu lalu dipelajarinya dengan tekun. Sesudah yakin akan kebenarannya, ia pun lantas masuk Islam dan menikmati keindahan yang damai dalam Islam. Demikian pula yang dialami Profesor muda, Miss Samiah Karberian, yang dilahirkan di Distrik Cambridge, Britania Raya. Iseng-iseng ia membaca beberapa halaman al-Qur'an. Dengan rasa takjub, hampir ia tidak percaya, bahwa dalam kitab tua yang diturunkan pada abad VII M. itu tercantum beberapa penjelasan yang tepat mengenai pengetahuan yang menyangkut geografi dan biologi. Karena dua macam itu merupakan keahliannya, akhirnya ia masuk Islam pada tahun 1978 di mesjid London. (Cerita dikutip dari 30 Kisah Teladan karya Abdurrahman Arroisi, Rosdakarya, Bandung).
SQ sebenarnya pula hanya ingin mengajak para pembaca untuk sama-sama menyelami samudera al-Qur'an. Namun, sebelum menyelam, diperlukan berbagai perangkat yang menghindari kita dari bahaya ikan hiu atau lainnya yang menghalangi kita dari mutiara. Sebelum menyelami kandungan al-Qur'an, kita harus mempersiapkan peralatan berupa Ilmu-Ilmu al-Qur'an agar terhindar dari pemahaman-pemahaman yang keliru. Di dalam Ilmu-Ilmu al-Qur'an, kita akan menemukan rambu-rambu yang harus dilewati agar tidak terjerumus ke dalam penafsiran keliru. Di dalamnya pula, kita akan menemukan seputar kecerdasan para ulama ketika meletakkan teori “sebab pewahyuan” (asbab al-nuzul) dan teori “hirarki penurunan al-Qur'an” (makkiyyah-madaniyyah), teori-teori yang menuntut kita melakukan komunikasi dialogis antara al-Qur'an dengan masyarakat pembaca. Justru dengan teori inilah kita dapat membuktikan bahwa al-Qur'an sanggup berdialog dengan berbagai tingkatan pembaca dan generasi. Model penafsiran adabi-ijtima`i (tafsir sosial-mesyarakatan) yang diusung pertama kalinya oleh Perguruan `Abduh sesungguhnya merupakan implementasi yang baik dan apik untuk teori asbab al-nuzul dan makkiyyah-madaniyyah. Sebagian kecil aturan-aturan Ilmu-Ilmu al-Qur'an saya kemukakan pada bagian kedua SQ.
Ada segudang masalah yang sedang dihadapi orang-orang Islam di Indonesia saat ini, yang notabene tidak dihadapi ulama dahulu. Karenanya, upaya menafsirkan al-Qur'an dengan metode baru, yang tentunya menghasilkan produk penafsiran baru pula, mutlak diperlukan. Belakangan muncul model penafsiran emansipatoris, model penafsiran yang tidak semata-mata sebagai obyek, tetapi sebagai subyek pula. Jadi, titik tekan model tafsir ini adalah problem kemanusiaan, bukan problem teks itu sendiri. Saya kira, semangat tafsir semacam ini sudah banyak dilakukan lulusan-lulusan perguruan Muhammad Abduh seperti Ridha, al-Maraghi, Syaltut, al-Qasimi, dan lainnya. Yang diperlukan sekarang adalah menulis tafsir dengan target mencari solusi al-Qur'an untuk menjelaskan problem orang-orang Islam di Indonesia. Karena itu, diperlukan, misalnya, tafsir al-Qur'an untuk para pejabat pemerintah, tafsir al-Qur'an untuk para LSM, tafsir al-Qur'an untuk mahasiswa, tafsir al-Qur'an untuk para muballigh, tafsir al-Qur'an untuk ibu rumah tangga, dan sebagainya. Saya kira, tafsir semacam ini lebih menyentuh problem kemanusiaan daripada menulis tafsir yang segmennnya tidak jelas.
Untuk menghasilkan produk-produk penafsiran al-Qur'an yang solutif, saya kira perlu adanya kerjasama antara ilmuwan yang kompeten dalam bidang al-Qur'an dengan pemerintah sebagai pihak eksekutif.. Ilmuwan tidak dapat berjalan dengan sendiri. Mereka harus tahu dari pemerintah prioritas program apa yang urgen dicari penyelesaiannya dari sudut pandang nilai-nilai Islam. Kerjasama antara keduanya diharapkan semakin banyak menyelesaikan problem-problem yang sedang dihadapi pemerintah.
Akhirnya, saya berharap semoga SQ menjadi pendorong untuk lebih getol mempelajari dan membumikan al-Qur'an. Wallahu a`lam bi al-shawab.***
31 Januari 2009
SISI POSITIF ISU FORMALIN
Mencuatnya isu formalin menimbulkan banyak wacana, opini, dan renungan mulai dari kalangan rakyat sebagai korbannya sampai kepada pemerintah. Tak sedikit pula berbagai pakar menuangkan gagasannya tentang persoalan itu. Umumnya, wacana yang berkembang tentang formalin mengungkap sisi-sisi negatifnya, terutama wacana "hujatan" kepada para produsen yang menggunakan bahan yang membahayakan itu dalam produk makanannya. Nampaknya, sisi negatif dari isu formalin sudah cukup banyak dikemukakan. Daripada terus menerus membicarakan sisi negatifnya, kenapa kita tidak berusaha melihat sisi positifnya? Padahal, dalam segala peristiwa terdapat sisi negatif sekaligus sisi positifnya.
Bagi umat beragama, dengan menggunakan kacamata teologi, segala peristiwa yang Tuhan turunkan kepada manusia pasti mengandung sisi positif meskipun secara kasat mata tidak dapat menangkapnya. Ada ungkapan sangat bijak di kalangan sufi. Ungkapan itu berbunyi: `ayn al-bala' `atha'. Artinya setiap bencana kalau direnungkan dengan hati yang jernih sesungguhnya merupakan anugerah dari Tuhan. Maka, tidaklah heran apabila sebagian sufi justru mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan tatkala mendapat musibah, karena dalam kacamatanya di sanalah anugerah Tuhan berada. Dalam ungkapan Inggris kita mengenal ungkapan a blessing in disguise, artinya di sana ada karunia yang tersembunyi. Coba perhatikan, ternyata sebagian penemuan baru diawali dengan bencana.
Menemukan sisi positif dalam setiap bencana (musibah)—termasuk di dalamnya formalin—menjadi penting tidak saja dalam rangka mensikapi sebuah peristiwa secara holistik, tetapi juga sebagai ekspresi husnuzhzhan kita kepada ketentuan Tuhan. Yang terakhir ini sangat penting dalam kerangka religiusitas. Bagaimana kita memaknai isu formalin sehingga dapat menangkap sisi positifnya? Tulisan ini akan mencoba mengemukakan beberapa sisi positifnya minimal menurut penilaian penulis.
Pertama, isu formalin menyadarkan kita tentang perlunya memiliki etika dalam memilah dan memilih makanan. Sikap ini diharapkan akan menimbulkan mental memilih makanan yang berdimensi halalan-thayyiban. Makan tidak semata-mata memenuhi kebutuhan dasar biologis kita, tetapi juga bagaimana caranya pemenuhan kebutuhan itu ditunjang oleh nilai-nilai etis. Dalam perspektif Islam, nilai-nilai etis itu disebut dengan fiqhul ath'imah atau aturan-aturan dalam mengkonsumsi makanan. Hal ini perlu diperhatikan karena ada hubungan signifikan—jika tidak dikatakan hubungan kualitas—antara makanan yang dikonsumsi dengan kualitas aksi yang muncul. Mungkin inilah substansi pesan Nabi kepada kita agar senantiasa mengkonsumsi makanan yang halal, karena makanan halal itu akan menstimulus kita untuk melakukan aksi yang positif.
Sisi positif lainnya bagi konsumen, dan ini jangan dianggap enteng, kita tahu bahwa sebegitu minimnya kesadaran sebagian produsen makanan untuk menjajakan makanan yang sehat. Ini membuat kita berpikir jangan-jangan masih banyak makanan lain yang mengandung zat-zat yang membahayakan tanpa kita sadari bersama. Ini tentu saja kemudian mendorong kita untuk mencari banyak informasi tentang makanan atau minuman yang hendak kita beli. Ini sisi positif lainnya.
Kedua, isu formalin—mudah-mudahan—dapat menyadarkan para produsen makanan yang selama ini menggunakan bahan berbahaya itu bahwa mengambil keuntungan sendiri dengan merugikan orang lain bukanlah sikap yang terpuji. Mudah-mudahan mereka tahu juga lalu sadar bahwa nilai "keberkahan" dalam berbisnis sesungguhnya bukan terletak pada nilai keuntungan ansich, tetapi yang terpenting bagaimana keuntungan itu diperoleh dengan cara yang jujur dan tidak melanggar etika.
Mudah-mudahan mereka sadar pula bahwa agama pada dasarnya mengajarkan kita agar senantiasa memberikan kemaslahatan/kebaikan kepada orang lain, bukan malahan memberikan kemadaratan/keburukan. Berbisnis yang tidak jujur atau mengandung unsur yang merugikan orang lain sesungguhnya tidak pernah akan beruntung dari sudut pandang apapun—apalagi dari sudut pandang agama—meskipun mendatangkan "keuntungan" secara finansial.
Sekali lagi, mudah-mudahan mereka sadar bahwa bukan saja ongkos moral yang harus mereka bayar, tetapi juga ongkos sosial-ekonomi. Betapa tidak, tindakannya itu telah merugikan banyak pihak, mulai dari sesama pembisnis lainnya yang nota bene tidak tersangkut sama sekali dengan isu formalin, sampai kepada konsumen yang merasakan efek negatif bagi kesehatan tubuhnya. Isu ini pula mudah-mudahan berimplikasi efek jera kepada para pengusaha makanan lainnya.
Ketiga, isu formalin menyadarkan para pakar moral (baca: para penyampai materi agama/da'i/muballigh) untuk menyadarkan para produsen makanan —sekalian tolong pikirkan mekanismenya--bahwa berbisnis makanan tidak semata-mata dilihat dari perspektif economic-oriented, tetapi juga harus dilihat dari perspektif ibadah. Saya kira, pesan Nabi bahwa pedagang yang jujur akan memasuki surga bersama para nabi tidak semata-mata mengandung nilai eskatologis, tetapi yang terpenting mengandung pesan kejujuran dalam berdagang atau berbisnis. Sisi positif dari poin pertama ini adalah perlunya para da'i/muballigh menyisipkan pesan-pesan moral tentang spiritualitas berbisnis. Tema-tema yang berkaitan dengan ibadah sosial tidak kalah penting untuk diangkat dari tema-tema yang berkaitan dengan ibadah mahdhah. Sebab, ibadah mahdhah itu sendiri tidak dapat dipisahkan sama sekali dengan implikasi-implikasi sosial.
Keempat, isu formalin semakin menyadarkan pihak pemerintah untuk bersikap arif sekaligus bertindak cepat dalam menangani isu formalin dan juga isu-isu yang meresahkan rakyat lainnya. Maksudnya, lamban dalam menuntaskan isu itu hanya akan berdampak luas bagi kalangan usaha kecil menengah (UKM). Bayangkan hanya beberapa pekan saja bergulir, sejak isu penggunaan formalin dalam proses pembuatan produk makanan merebak, produsen mi basah, baso, tahu, ikan asin, dan produk makanan lainnya mengalami penurunan omzet lebih dari 50%. Isu ini telah menelantarkan kurang-lebih 6.000 pedagang baso di kota Bandung sekaligus anggota keluarganya (PR, 13-01-2006, hlm. 24). Itu baru sekala kota Bandung, lalu bagaimana dengan skala yang lebih besar lagi. Sisi opositif lainnya, pemerintah semakin menyadari pentingnya sosialisasi kepada rakyat tentang produk makanan yang selama ini banyak dikonsumsi rakyat, terutama rakyat kecil menengah yang awam dalam persoalan itu.
Oleh karena itu, melalui isu ini diharapkan pemerintah menjalankan fungsinya sebagai pengayom rakyat melalui kebijakan-kebijakan populisnya secara maksimal. Dalam kacamata Islam, peran pemerintah adalah sebagai produsen kemaslahatan-kemaslahatan rakyat (tawliyatul imam bir-ri`ayah manuthun bil mashlahah). Isu ini mudah-mudahan dijadikan sarana oleh pemerintah untuk menjalankan fungsinya itu secara optimal. Dengan demikian, diharapkan isu ini tidak diekspos dan sengaja dipelihara untuk memalingkan rakyat dari isu-isu besar lainnya yang sedang menggerogoti bangsa. Sebab bila—sekali lagi bila—itu yang terjadi, saya kira dampak negatif yang dimunculkan akan lebih besar lagi.
Kelima, isu formalin—mudah-mudahan—mendorong DPR sebagai badan legislatif untuk segera menggodok undang-undang yang lebih komprehensif dan populis yang melindungi konsumen sekaligus mengawasi produsen makanan. Komprehensif artinya produk undang-undang itu dilandasi oleh banyak perspektif, mulai kesehatan, etika moral, estetika, dan lain sebagainya. Populis artinya undang-undang itu menguntungkan berbagai pihak, mulai produsen sampai konsumen. Sambil menunggu produk aturan-aturan DPR yang memiliki efek jera bagi para produsen yang terlibat dalam isu formalin, alangkah baiknya kita sama-sama memikirkan pula yang hasilnya diharapkan sebagai bahan masukan bagi DPR.
Last but not least, isu formalin merupakan gejala sosial yang mengindikasikan banyak hal sekaligus pelajaran berharga bagi kita semua. Do with truth, not with vested interest!*** (Dr. Rosihon Anwar, dimuat di Majalah al-Hidayah, Edisi Maret, 2006)
*Penulis adalah dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Bagi umat beragama, dengan menggunakan kacamata teologi, segala peristiwa yang Tuhan turunkan kepada manusia pasti mengandung sisi positif meskipun secara kasat mata tidak dapat menangkapnya. Ada ungkapan sangat bijak di kalangan sufi. Ungkapan itu berbunyi: `ayn al-bala' `atha'. Artinya setiap bencana kalau direnungkan dengan hati yang jernih sesungguhnya merupakan anugerah dari Tuhan. Maka, tidaklah heran apabila sebagian sufi justru mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan tatkala mendapat musibah, karena dalam kacamatanya di sanalah anugerah Tuhan berada. Dalam ungkapan Inggris kita mengenal ungkapan a blessing in disguise, artinya di sana ada karunia yang tersembunyi. Coba perhatikan, ternyata sebagian penemuan baru diawali dengan bencana.
Menemukan sisi positif dalam setiap bencana (musibah)—termasuk di dalamnya formalin—menjadi penting tidak saja dalam rangka mensikapi sebuah peristiwa secara holistik, tetapi juga sebagai ekspresi husnuzhzhan kita kepada ketentuan Tuhan. Yang terakhir ini sangat penting dalam kerangka religiusitas. Bagaimana kita memaknai isu formalin sehingga dapat menangkap sisi positifnya? Tulisan ini akan mencoba mengemukakan beberapa sisi positifnya minimal menurut penilaian penulis.
Pertama, isu formalin menyadarkan kita tentang perlunya memiliki etika dalam memilah dan memilih makanan. Sikap ini diharapkan akan menimbulkan mental memilih makanan yang berdimensi halalan-thayyiban. Makan tidak semata-mata memenuhi kebutuhan dasar biologis kita, tetapi juga bagaimana caranya pemenuhan kebutuhan itu ditunjang oleh nilai-nilai etis. Dalam perspektif Islam, nilai-nilai etis itu disebut dengan fiqhul ath'imah atau aturan-aturan dalam mengkonsumsi makanan. Hal ini perlu diperhatikan karena ada hubungan signifikan—jika tidak dikatakan hubungan kualitas—antara makanan yang dikonsumsi dengan kualitas aksi yang muncul. Mungkin inilah substansi pesan Nabi kepada kita agar senantiasa mengkonsumsi makanan yang halal, karena makanan halal itu akan menstimulus kita untuk melakukan aksi yang positif.
Sisi positif lainnya bagi konsumen, dan ini jangan dianggap enteng, kita tahu bahwa sebegitu minimnya kesadaran sebagian produsen makanan untuk menjajakan makanan yang sehat. Ini membuat kita berpikir jangan-jangan masih banyak makanan lain yang mengandung zat-zat yang membahayakan tanpa kita sadari bersama. Ini tentu saja kemudian mendorong kita untuk mencari banyak informasi tentang makanan atau minuman yang hendak kita beli. Ini sisi positif lainnya.
Kedua, isu formalin—mudah-mudahan—dapat menyadarkan para produsen makanan yang selama ini menggunakan bahan berbahaya itu bahwa mengambil keuntungan sendiri dengan merugikan orang lain bukanlah sikap yang terpuji. Mudah-mudahan mereka tahu juga lalu sadar bahwa nilai "keberkahan" dalam berbisnis sesungguhnya bukan terletak pada nilai keuntungan ansich, tetapi yang terpenting bagaimana keuntungan itu diperoleh dengan cara yang jujur dan tidak melanggar etika.
Mudah-mudahan mereka sadar pula bahwa agama pada dasarnya mengajarkan kita agar senantiasa memberikan kemaslahatan/kebaikan kepada orang lain, bukan malahan memberikan kemadaratan/keburukan. Berbisnis yang tidak jujur atau mengandung unsur yang merugikan orang lain sesungguhnya tidak pernah akan beruntung dari sudut pandang apapun—apalagi dari sudut pandang agama—meskipun mendatangkan "keuntungan" secara finansial.
Sekali lagi, mudah-mudahan mereka sadar bahwa bukan saja ongkos moral yang harus mereka bayar, tetapi juga ongkos sosial-ekonomi. Betapa tidak, tindakannya itu telah merugikan banyak pihak, mulai dari sesama pembisnis lainnya yang nota bene tidak tersangkut sama sekali dengan isu formalin, sampai kepada konsumen yang merasakan efek negatif bagi kesehatan tubuhnya. Isu ini pula mudah-mudahan berimplikasi efek jera kepada para pengusaha makanan lainnya.
Ketiga, isu formalin menyadarkan para pakar moral (baca: para penyampai materi agama/da'i/muballigh) untuk menyadarkan para produsen makanan —sekalian tolong pikirkan mekanismenya--bahwa berbisnis makanan tidak semata-mata dilihat dari perspektif economic-oriented, tetapi juga harus dilihat dari perspektif ibadah. Saya kira, pesan Nabi bahwa pedagang yang jujur akan memasuki surga bersama para nabi tidak semata-mata mengandung nilai eskatologis, tetapi yang terpenting mengandung pesan kejujuran dalam berdagang atau berbisnis. Sisi positif dari poin pertama ini adalah perlunya para da'i/muballigh menyisipkan pesan-pesan moral tentang spiritualitas berbisnis. Tema-tema yang berkaitan dengan ibadah sosial tidak kalah penting untuk diangkat dari tema-tema yang berkaitan dengan ibadah mahdhah. Sebab, ibadah mahdhah itu sendiri tidak dapat dipisahkan sama sekali dengan implikasi-implikasi sosial.
Keempat, isu formalin semakin menyadarkan pihak pemerintah untuk bersikap arif sekaligus bertindak cepat dalam menangani isu formalin dan juga isu-isu yang meresahkan rakyat lainnya. Maksudnya, lamban dalam menuntaskan isu itu hanya akan berdampak luas bagi kalangan usaha kecil menengah (UKM). Bayangkan hanya beberapa pekan saja bergulir, sejak isu penggunaan formalin dalam proses pembuatan produk makanan merebak, produsen mi basah, baso, tahu, ikan asin, dan produk makanan lainnya mengalami penurunan omzet lebih dari 50%. Isu ini telah menelantarkan kurang-lebih 6.000 pedagang baso di kota Bandung sekaligus anggota keluarganya (PR, 13-01-2006, hlm. 24). Itu baru sekala kota Bandung, lalu bagaimana dengan skala yang lebih besar lagi. Sisi opositif lainnya, pemerintah semakin menyadari pentingnya sosialisasi kepada rakyat tentang produk makanan yang selama ini banyak dikonsumsi rakyat, terutama rakyat kecil menengah yang awam dalam persoalan itu.
Oleh karena itu, melalui isu ini diharapkan pemerintah menjalankan fungsinya sebagai pengayom rakyat melalui kebijakan-kebijakan populisnya secara maksimal. Dalam kacamata Islam, peran pemerintah adalah sebagai produsen kemaslahatan-kemaslahatan rakyat (tawliyatul imam bir-ri`ayah manuthun bil mashlahah). Isu ini mudah-mudahan dijadikan sarana oleh pemerintah untuk menjalankan fungsinya itu secara optimal. Dengan demikian, diharapkan isu ini tidak diekspos dan sengaja dipelihara untuk memalingkan rakyat dari isu-isu besar lainnya yang sedang menggerogoti bangsa. Sebab bila—sekali lagi bila—itu yang terjadi, saya kira dampak negatif yang dimunculkan akan lebih besar lagi.
Kelima, isu formalin—mudah-mudahan—mendorong DPR sebagai badan legislatif untuk segera menggodok undang-undang yang lebih komprehensif dan populis yang melindungi konsumen sekaligus mengawasi produsen makanan. Komprehensif artinya produk undang-undang itu dilandasi oleh banyak perspektif, mulai kesehatan, etika moral, estetika, dan lain sebagainya. Populis artinya undang-undang itu menguntungkan berbagai pihak, mulai produsen sampai konsumen. Sambil menunggu produk aturan-aturan DPR yang memiliki efek jera bagi para produsen yang terlibat dalam isu formalin, alangkah baiknya kita sama-sama memikirkan pula yang hasilnya diharapkan sebagai bahan masukan bagi DPR.
Last but not least, isu formalin merupakan gejala sosial yang mengindikasikan banyak hal sekaligus pelajaran berharga bagi kita semua. Do with truth, not with vested interest!*** (Dr. Rosihon Anwar, dimuat di Majalah al-Hidayah, Edisi Maret, 2006)
*Penulis adalah dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
30 Januari 2009
BELAJAR BAHASA AL-QUR'AN ITU TIDAK SUSAH
Bulan Ramadhan adalah waktu yang paling tepat untuk berinteraksi dengan al-Qur'an secara intens, baik dengan cara membacanya atau memperdalam isinya. Untuk memperdalam al-Qur'an biasanya seseorang terganjal oleh persoalan bahasa Arab, karena memang al-Qur'an ditulis dengan bahasa itu. Bahkan, khazanah keislaman yang sebegitu luasnya masih tersimpan dalam karya-karya berbahasa Arab. Dengan demikian, belajar bahasa Arab seharusnya merupakan bagian keberagaman orang Islam.
Para ulama bahasa menyadari akan pentingnya mempelajari bahasa Arab. Oleh karena itu, mereka telah mengerahkan berbagai usaha untuk menyusun berbagai panduan bagi siapa saja yang hendak mempelajari bahasa Arab. Maka, kita mengenal ada kitab al-Jurumiyah, Alfiyyah, Jami` al-Durus, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, di kalangan masyarakat masih ada berbagai anggapan yang mengesani bahwa belajar bahasa Arab itu susah.
Tapi, sekarang anggapan itu sudah seharusnya mulai ditepis, setidaknya dengan munculnya buku Cara Praktis Belajar dan Memahami Bahasa al-Qur'an yang disusun oleh Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., dosen jurusan Tafsir-Hadits, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Buku semacam ini memang bukan satu-satunya yang pernah muncul. Namun, buku ini sedikit berbeda dengan buku-buku lainnya dalam beberapa hal berikut ini.
Pertama, buku ini ditulis dengan ringkas dan praktis serta menggunakan contoh-contoh berupa ayat-ayat al-Qur’an. Jika tidak ditemukan suatu contoh kaidah bahasa Arab tertentu dalam al-Qur'an, penyusun akan mengemukakan contoh di luar al-Qur'an. Ini tentu saja memiliki dua keuntungan, selain mengerti bahasa Arab, juga menguasai beberapa kosa kata dalam al-Qur'an.
Kedua, buku ini berupaya menyederhanakan definisi-definisi istilah teknis gramatika Arab dengan tanpa bermaksud merubah definisi yang biasa dipakai. Di dalamnya kita temukan, misalnya, istilah fail didefinisikan demikian "Isim, umumnya, yang terletak langsung setelah fi`il, atau Subyek yang didahului Predikat, atau Subyek yang berada di tengah kalimat, atau Pelaku pekerjaan."
Ketiga, untuk lebih mudah dipahami, buku ini mencoba menerjemahkan sebagian istilah-istilah teknis tata bahasa Arab ke dalam istilah-istilah teknis tata bahasa Indonesia. Penyusun nampaknya menangkap keseragaman pola kalimat antara Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. Penerjemahan istilah itu tentu saja akan semakin mempermudah pemahaman kita terhadap bahasa Arab.
Ketiga poin inilah yang membedakan buku ini dengan buku-buku lainnya. Selain ketiga poin di atas, kita dapat menemukan di dalamnya beberapa rumus yang nampaknya akan mempermudah kita untuk mengidentifikasi jenis kata bahasa Arab. Contoh, "ani" atau "aini" dijadikan rumus untuk menentukan isim tatsniyah (kata yang menunjukkan 2), "una" atau "ina" dijadikan rumus untuk menentukan isim jamak mudzakkar salim (kata yang menunjukkan laki-laki jamak), dan lain sebagainya.
Karena tujuan buku ini ingin memperkenalkan bahasa al-Qur’an secara praktis dan ringkas, maka ada beberapa istilah teknis gramatika bahasa Arab yang tidak diungkapkan dengan asumsi—menurut penyusunnya—kalau diungkapkan akan merumitkan para pemula. Dengan demikian, buku ini berbeda dengan buku-buku lain yang sengaja ditulis untuk memperkenalkan tata bahasa (Nahwu-Sharaf) Arab secara lengkap. Di samping itu, buku ini tidak mencakup semua persoalan tata bahasa bahasa Arab dengan asumsi bahwa buku ini dipersembahkan untuk para pemula.***
Langganan:
Postingan (Atom)