02 Februari 2009

KARIKATUR NABI: ANTARA PELECEHAN DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI

Pelecehan terhadap perasaan umat Islam dengan dalih kebebasan berekspresi kembali terjadi. Kali ini pelakunya adalah Surat Kabar Harian Denmark Jyllands Posten pimpinan Carsten Juste. Di surat kabar tersebut dimuat 12 karikatur/kartun Nabi Muhammad SAW. Carsten menyebutkan, pada 30 September 2005 Jyllands Posten telah mencetak 12 gambar karya juru gambar kartun yang mengekspresikan bagaimana kira-kira rupa Nabi Muhammad. Ini dalam rangka perdebatan seru tentang kebebasan mengutarakan pendapat yang sangat dihargai di Denmark (Media Indonesia.Online, 3 Pebruari 2006).
Sebelumnya, pada tahun 80-an Salman Rusdi, keturunan India yang tinggal di Inggris, telah menulis buku setebal 574 halaman dengan judul Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan). Buku ini menghujat umat Islam dan penulisnya menerima bayaran $ 800.000 itu dari penerbit. Rusdi telah melecehkan umat Islam dengan mengatakan bahwa setan berhasil mempengerahi Nabi untuk berujar atas nama wahyu. Ujarannya itulah yang kemudian dinamakan ayat-ayat setan (gharanîq). Ternyata timbul pro dan kontra terhadap bukunya itu, dan terakhir terungkap bahwa apa yang diungkap Salman Rusdi hanya omong kosong. Lebih-lebih ketika Dr Syamsuddin al-Fasi menyanggah sekaligus menyerang Salman Rusdi dengan bukunya Ayat al-Samawiyyah fî Radd `ala Kitab Ayat al-Syaithaniyah, yang diterjemahkan oleh H. Salim Basyarahil ke dalam bahasa Indonesia dengan Ayat-ayat Tuhan Menjawab Ayat-ayat Setan. Juga masih pada tahun 80-an, perasaan umat Islam terusik oleh ulah Arswendo Atmowiloto ketika ia merangking Nabi Muhammad di bawah beberapa tokoh, termasuk di bawah tokoh Indonesia. Reaksi keras dari kalangan umat Islam pun bermunculan.
Sebagaimana terhadap kasus Salman Rusdie dan Arswendo Atmowiloto, umat Islam di seluruh dunia—tidak saja di Indonesia—memberikan reaksi keras terhadap kasus karikatur Nabi di atas. Reaksi itu muncul dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri kita lihat kecaman pemerintah Indonesia, MUI, ORMAS NU, ORMAS Muhammadiyah, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan unsur keagamaan lainnya. Dari luar negeri kita, misalnya, membaca kecaman dari Arab Saudi, Parlemen Pakistan yang mengeluarkan resolusi mengutuk, rakyat Palestina, dan negara Islam lainnya, sampai kepada Sekjen PBB Kofi Annan yang merasa prihatin dengan kasus ini. Bahkan, pemerintahan Amerika pun mengecamnya dan menilainya sebagai pelecehan yang tidak dapat diterima (Media Indonesia, 3 Pebruari 2006). Kecaman yang mendunia terhadap kasus ini dikhawatirkan akan bermuara pada konflik agama.


Mengapa Melecehkan?
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad bukan merupakan sosok manusia biasa. Ia adalah sosok luar biasa karena posisinya sebagai pembawa risalah dan penyampai sabda Allah. Ia merupakan sosok pembawa kebaikan bagi semesta alam (rahmatan lil`alamin). Ketika namanya disebut, umat Islam memanjatkan doa baginya sebagai simbol pengagungan. Karenanya, ia harus dihormati dan dimuliakan. Nabi merupakan simbol keberagamaan umat Islam yang harus dimuliakan oleh siapa saja, termasuk oleh orang-orang non-Muslim. Begitu pentingnya posisi Nabi bagi umat Islam, sehingga namanya disertakan dalam ungkapan syahadatayn (dua kalimat persaksian). Nabi tidak saja mulia dari sisi akhlak, tetapi juga mulia dari sisi fisik. Sebuah kitab klasik Al-Barjanji misalnya menggambarkan begitu sempurnanya gambaran fisik Nabi sehingga sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ketika sosok mulia itu dilukis dalam bentuk karikatur—apalagi dengan motivasi yang negatif, maka pembuatnya berarti telah melecehkan Nabi, melecehkan simbol agama Islam, dan melukai perasaan umat Islam.
Memang ada banyak alasan kenapa para ulama mengharamkan memunculkan sosok Nabi dalam bentuk gambar apalagi karikatur. Di samping menghindari pengkultusan individu, juga menghindari gambaran-gambaran yang mengurangi—apalagi melecehkan—kesempurnaan sosok Nabi. Nabi, ka`bah, mesjid, dan lainnya merupakan simbol keberagamaan yang dihormati umat Islam. Tak boleh seorang pun melecehkannya dengan dalih apapun, termasuk dalih kebebasan berekspresi.

Antara Toleransi Beragama dan Kebebasan Berekspresi
Memuat karikatur Nabi dalam media publik dengan dalih kebebasan berekspresi semakin membuka ruang perdebatan sejauh mana seseorang bebas berekspresi? Apakah kebebasan berekspresi itu dapat melanggar batas-batas toleransi agama? Juga, kasus ini semakin memberi penegasan mengenai pentingnya menentukan batasan-batasan toleransi beragama? Saya kira toleransi beragama itu bukan hanya mencari sisi kesamaan atau titik temu dari agama-agama, tetapi juga saling menghormati simbol agama masing-masing. Semua agama pasti memiliki simbol-simbol keagamaan yang harus dimuliakan oleh pemeluknya dan tetap harus dihormati oleh para pemeluk agama lainnya.
Kebebasan berekspresi dan toleransi seharusnya menjalin hubungan yang serasi, bukan hubungan vis a vis. Ada wilayah-wilayah tertentu yang tidak boleh disentuh oleh kebebasan berekspresi. Wilayah itu adalah apa yang dinamakan subyektivitas keberagamaan. Bagi orang-orang non-Islam, memang sosok Nabi Muhammad mungkin tidak berbeda dengan sosok-sosok manusia lainnya yang karenanya bebas diekspresikan, tetapi itu berbeda bagi orang-orang Islam. Di sana ada subyektivitas. Justru di sinilah kearifan toleransi beragama. Kita lihat, umpamanya, pemimpin Jyllands Posten, Carsten Juste, berpendapat bahwa 12 gambar kartun itu biasa-biasa saja dan tidak dimaksudkan untuk menyinggung perasaan siapapun. Tetapi ternyata yang terjadi adalah justru menyinggung perasaan umat Islam. Kenapa itu terjadi? Karena ada subyektivitas keberagamaan yang dilanggar.


Diperlukan Kearifan Bersama
Ada himbauan baik dari Sekjen PBB Kofi Annan agar umat Islam di seluruh dunia menerima permohonan maaf dari pihak surat kabar yang memuat kartun Nabi Muhammad saw. Ini adalah himbauan yang baik. Namun, sebaiknya himbauan serupa dialamatkan kepada media-media Barat agar tidak mengulangi kasus serupa. Diperlukan kearifan bersama. Bagi umat Islam, kasus karikatur memang sangat menyinggung perasaan, tetapi semoga ada kearifan dari berbagai pihak untuk tidak melakukan tindakan-tindakan balas dendam dengan merusak simbol-simbol keagamaan tertentu. Sebaliknya, pihak media Barat yang nota bene dikelola oleh non-muslim, juga harus memiliki kearifan untuk tidak melecehkan simbol-simbol keberagamaan umat Islam. Dalih kebebasan berekspresi hendaknya tidak melahirkan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap toleransi beragama.
Permohonan maaf dari Perdana Menteri Denmark, Anders Fogh, atas kasus di atas memang belum cukup untuk menghilangkan rasa sakit umat Islam, tetapi setidak-tidaknya hal itu menunjukan itikad baik dari Denmark itu sendiri. Menerima permohonan maaf tidak berarti berhenti berjuang dan mendesak agar ada sangsi sebagai efek jera kepada siapa saja yang melakukan pelecehan terhadap simbol-simbol keagamaan. Dan sambil terus mendesak agar ada sangsi itu segera ditegakkan, mari kita perlihatkan kebesaran Islam yang sangat menonjolkan kearifan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar