02 Februari 2009

KESURUPAN & JIWA YANG TERTEKAN

Bila boleh menambahkan deretan kejadian luar biasa (KLB) saat ini di Indonesia, maka kejadian itu adalah kesurupan. Kesurupan bisa menambah deretan KLB di samping kasus plu burung, demam berdarah, dan lain sebagainya. Bayangkan hampir pada waktu yang bersamaan terjadi peristiwa kesurupan di mana-mana secara massal, Yogyakarta (6/3), Banjarmasin (20/3), Surabaya (20-22/3), Bogor (21/3), Malang (22/3), Tanggerang (28/3), dan Bandung (29/3) terutama di pabrik dan sekolahan. Peristiwa ini membuat kita geli sekaligus cemas. Geli karena kejadian supranatural yang konon karena kerasukan jin itu terjadi hampir bersamaan. Mungkinkah bangsa Jin sedang melakukan unjuk rasa secara masal pula? Cemas karena peristiwa itu mengganggu banyak aktivitas manusia. Bayangkan kalau kesurupan itu menjadi langganan. Pada hampir setiap kasus, peristiwa kesurupan itu membuat aktivitas pembelajaran di sekolah tidak lancar. Ada seloroh yang muncul, sepertinya peristiwa gaib ini sebaiknya menambah hari nasional di Indonesia, hari "Kesurupan Nasional".
Ada beberapa analisis tentang pemicu terjadinya kesurupan massal itu, mulai yang berbau mistik, religius, sampai yang rasional. Analisis mistik menjelaskan bahwa kesurupan itu dipicu oleh kemarahan para "penunggu" yang tempatnya diganggu oleh bangsa manusia, karena pohon besar ditebang, rehab bangunan yang tidak didahului sesajen, dan lain sebagainya. Analisis religius menjelaskan bahwa kesurupan dipicu oleh minimnya pengetahuan agama, sebagaimana dikemukakan ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Abdurrahman Navis di Surabaya, Sabtu (25/3). Ia menilai kesurupan (kerasukan mahluk halus) secara massal yang akhir-akhir marak di berbagai daerah di Indonesia membuktikan kurangnya pendidikan agama di sekolah. Dari aspek agama, orang yang kerasukan jin itu umumnya karena jarang berdzikir atau jarang beribadah.
Yang paling menarik adalah uraian Prof. Dadang Hawari sebagaimana disiarkan salah satu stasion televisi di Indonesia. Penjelasannya agak rasional. Ia menjelaskan bahwa kesurupan dipicu oleh gejala psikis yang labil dan kosong karena lelah atau cape bekerja. Jadi, faktor psikologis merupakan pemicunya.
Menurut penulis Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta, kata "kesurupan" berasal dari bahasa Jawa artinya "kerasukan (setan)". Menurut sebagian pakar Jin (jinologi), ada dimensi-dimensi tertentu di mana Jin dapat masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian mengendalikan jiwanya, sehingga yang muncul adalah hal-hal yang aneh: Selang-seling antara menjerit, tertawa, menangis, dan sesekali memukul. Ada buku menarik tentang ini, yaitu al-`Ilaj al-Rabbaniyy li al-Sihr wa al-Mass al-Syaithaniyy (Pengobatan Rabbani terhadap Sihir dan Gangguan Setan) karya Majdi Muhammad al-Syahawi. Pada buku ini dijelaskan berbagai macam modus operandi bagaimana "trik-trik" jin dan setan membuat manusia menjadi kesurupan, sekaligus bagaimana cara mengobatinya. Pada buku itu dijelaskan pula bahwa jin bisa merasuk ketika manusia sedang marah yang berlebihan, ketika takut yang berlebihan, ketika dorongan syahwat yang menggelora, dan ketika lalai yang berlebihan.

Simbol Jiwa yang Tertekan?
Yang paling penting dalam peristiwa kesurupan nasional ini adalah mencari akar persoalan sosial mengapa psikis korban menjadi labil dan stres sehingga ia mudah kerasukan jin. Dalam beberapa kasus yang ada, peristiwa itu menimpa beberapa pekerja dan siswa pelajar. Mengapa pelajar dan pekerja stres? Jawabannya bisa merambah kepada penelisikan terhadap sebuah sistem yang berlaku di pabrik atau sekolah. Kesurupan yang menimpa para pekerja merupakan sebuah fenomena (gejala lahir) dari nomena (gejala batin) yang tidak tampak. Gajih di bawah UMR, jam kerja yang tidak sesuai dengan penghasilan, tempat kerja yang tidak kondusif, sikap majikan yang tidak kooperatif dan sedikit bengis, serta lilitan hidup yang semakin mencekik bisa saja membuat pekerja menjadi stres. Kesurupan merupakan simbol jiwa pekerja yang tertekan.
Ini tentu saja mengingatkan kita semua tentang rendahnya kesadaran spiritualitas memperkerjakan orang. Spiritualitas ketenaga-kerjaan ini semestinya yang harus dikedepankan oleh kita setiap memperkerjakan orang. Islam sesungguhnya merupakan ajaran yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas ketenaga-kerjaan. Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, Nabi SAW. pernah menegur keras seorang sahabat yang memaksakan onta untuk menanggung beban yang tidak kuat dibawanya. Bila hewan saja dilarang untuk dipekerjakan di luar batas kemampuannya, apalagi manusia. Dalam hadits lainnya, Nabi SAW. memerintahkan kita untuk membayar upah pekerja sebelum keringatnya kering. Ini tentu saja merupakan sebiah nilai spiritualitas ketenaga-kerjaan yang sangat bernilai: Memperhatikan gaji pekerja. Sebelum keringatnya kering berarti sebelum jiwanya terhimpit oleh persoalan-persoalan hidup, sebelum jiwanya terdorong untuk melakukan tindakan kriminal karena himpitan hidup, sebelum melakukan unjuk rasa besar-besaran yang destruktif, dan lain sebagainya. Yang terpenting, memperkerjakan orang seharusnya berlandaskan ibadah sosial untuk meringankan kesulitan orang dalam persoalan ekonominya.
Mengapa siswa pelajar kesurupan? Jawabannya bisa merambah kepada penelisikan terhadap sebuah sistem yang berlaku di sekolah. Pekerjaan Rumah (PR) yang menumpuk, sistem pembelajaran yang diktator, lingkungan sekolah yang kumuh dan hampir roboh, guru yang tidak menarik, serta lilitan problema di luar kelas bisa saja membuat para pelajar menjadi stres. Kesurupan merupakan simbol jiwa pelajar yang tertekan.
Ini tentu saja—sekali lagi—mengingatkan kita semua tentang perlunya memompa kesadaran spiritualitas mendidik murid. Spiritualitas pendidikan ini semestinya yang harus dikedepankan oleh kita setiap mengelolah sebuah sistem pebelajaran. Islam sesungguhnya merupakan ajaran yang sarat dengan nilai-nilai spiritualitas pendidikan. Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, Nabi SAW. pernah bersabda, "Tuhanku telah mengajariku dengan cara yang sangat baik. (Addabani rabbi ahsana ta'dib)." Ini tentu saja merupakan sebuah isyarat tentang perlunya mengemas metode pembelajaran yang baik, metode yang mencerdaskan sekaligus menyenangkan psikis anak didik. Dalam hadits yang sangat terkenal, Nabi SAW. memerintahkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain sesuai dengan kadar intelektualnya (khatibinnas bi qadri `uqulihim). Ini pun merupakan sebuah isyarat tentang pentingnya memikirkan sesbuah sistem pembelajaran sesuai dengan kavasitas anak didik kita. Yang terpenting, mendidik seharusnya berlandaskan ibadah sosial untuk mempersiapkan generasi bangsa yang kuat.


Bukan Terapi yang Instan
Mendatangkan kyai, ustad, dan paranormal memang dapat menyembuhkan seseorang dari gejala kesurupan, tetapi terapinya bersipat sesaat dan instan. Bukan terapi itu yang sesungguhnya kita butuhkan. Kita membutuhkan sebuah grand of therapy yang bersifat sistemik dan terpadu, serta berjangka panjang. Sistemik maksudnya adalah mencoba menyelesaikan akar persoalan dengan tidak hanya membidik korban, tetapi juga membidik faktor-faktor yang melatarinya. Terpadu artinya solusi yang diharapkan harus seirama dengan sebuah kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kemaslahatan rakyat. Tanpa itu, kesurupan akan menjadikan sebuah momok menakutkan bagi siapa saja yang jiwanya tertindas, tertindas karena lilitan persoalan hidup yang semakin mencekik. Bagaikan bom waktu, kesurupan bisa saja menghampiri kita.
Kita berharap agar rencana revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan berpihak kepada hak-hak pekerja. Kita berharap pula Undang-Undang Guru dan Dosen segera direalisasikan sebagai upaya menyelesaikan salah satu krisis sistem pendidikan kita. Dengan kedua hal di atas, mudah-mudahan kesurupan masal tidak akan terulang lagi, semoga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar