03 Februari 2009

PORNOGRAFI DAN NORMA UNIVERSAL

Mencuatnya isu akan terbitnya majalah Playboy--yang dikelola kerajaan bisnis Hugh Heffner dari Amerika Serikat (AS)—versi bahasa Indonesia semakin meramaikan kontroversi pornografi. Dua kubu yang berseberangan pun tetap menggunakan kacamatanya masing-masing. Kubu yang tidak setuju dengan terbitnya majalah ini menggunakan kacama norma, terutama norma agama. Dengan kacamata inilah ORMAS-ORMAS Islam mengobarkan "perang" terhadap rencana itu. Menghadapi isu ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), misalnya, akan melansir gerakan antipornografi bersamaan dengan kongres Muslimat Nahdlatul Ulama di Batam Maret mendatang. "PBNU sudah minta kepada Pengurus Pusat Muslimat NU supaya di dalam kongresnya pada Maret di Batam melansir gerakan antipornografi, sehingga penerbitan (majalah) ini akan menjadi titik tolak gerakan moral," demikian kata Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi mengatakan hal itu di Jakarta, beberapa hari yang lalu.
Pimpinan Muhammadiyah mengimbau penerbit Playboy edisi bahasa Indonesia menghentikan rencananya untuk mencegah timbulnya reaksi keras dari masyarakat, khususnya umat Islam, karena penerbitan majalah itu akan menjadi pemicu bagi ketidaksabaran umat atas pornografi dan pornoaksi yang kini semakin merebak. Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahkan meminta kepada Menkominfo, polisi, KPI dan DPR agar mengambil langkah-langkah penertiban supaya tidak muncul konflik yang tidak diinginkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, prihatin terhadap bakal diterbitkannya majalah Playboy edisi Indonesia, dan meminta pemerintah melarang terbitan bernuansa pornografi semacam itu. "Pemerintah seharusnya bertindak, melarang terbitan-terbitan semacam itu, karena jika tidak hanya akan menimbulkan gejolak di masyarakat dan bisa memancing ke arah anarkis dari umat yang menolak," kata Ketua MUI, KH Ma`ruf Amin, di Jakarta, beberapa hari yang lalu. (ANTARA News).
Sementara kubu yang setuju dengan rencana itu menggunakan kacamata seni. Dengan kacamata ini, kubu yang setuju atau tidak menentang, memasukkan pornografi dalam wilayah hak individu untuk mengeskpresikan rasa seninya. Jadi, tak ada salahnya seseorang mengekspresikan aksi pornografi dalam berbagai media, termasuk media majalah Playboy. Kebebasan berekspresi itu adalah hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin undang-undang.
"Perseteruan" antara dua kubu terus berlangsung dalam relung-relung sejarah dengan instrumen berupa kasus-kasus yang berbeda. Tengoklah "perseteruan" antara Raja Dangdut H. Rhoma Irama—mewakili kubu pertama—dengan si Ratu Ngebor Inul Daratista—mewakili kubu kedua. Tengok pula "perseteruan" antara MUI dengan insan perfilm-an dalam kasus film komedi remaja Buruan Cium Gue! beberapa tahun yang lalu.


Mencari Norma Universal
Pertanyaan yang paling mendasar adalah "mungkinkah mencari titik temu antara kedua kubu yang saling berseberangan itu?" Atau, "Bisakah norma agama dan seni bertemu dalam kasus pornografi?" Menjawab pertanyaan ini berarti mencari relasi antara norma dan kebebasan berekspresi. Mana yang harus dikedepankan? Bisakah kebebasan berkespresi dilepaskan dari norma?
Dalam konteks Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya beragama, nampaknya sulit memisahkan norma dengan aktivitas kehidupan, terutama yang menyentuh ranah ruang publik, ruang di mana segala ekspresi dapat diakses oleh orang banyak, bukan ruang frivasi. Indonesia bukan negara sekuler di mana setiap rakyatnya bebas mengespresikan segala sesuatu sebebas-bebasnya. Ada kode etik yang harus dilaksanakan bersama yang dinamakan norma. Dengan kata lain, kebebasan berekspresi tidak dapat dilepaskan dari norma.
Namun persoalannya adalah norma mana yang harus dianut? Indonesia adalah negara multiagama yang berarti ada banyak norma yang berlaku di Indonesia. Belum lagi jika kita melihat norma-norma lokal dan adat setempat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap norma memiliki ruangnya masing-masing. Di sana ada relativitas. Jadi, meskipun norma diusung bersama, tetapi di sana ada ruang relativitas: Norma agama mana? Norma adat yang mana? Bijakkah memaksakan suatu norma agama tertentu kepada pemeluk agama lain? Apakah suatu komunitas dikatakan melanggar jika menerapkan norma yang dianutnya, yang notabene bertolak belakang dengan norma yang dianut oleh komunitas di luarnya?
Atas dasar itu, kita perlu mencari norma universal, norma lintas agama dan adat, norma yang dianut bersama. Bagaimanakah caranya? Pertama, para tokoh agama dan adat berkumpul bersama merumuskan norma-norma universal tentang apa saja, bukan hanya tentang pornografi dan pornoaksi. Setiap agama pasti membawa pesan-pesan moral universal. Norma universal inillah yang kemudian disepakati kalau perlu dikodifikasikan dan dikompilasikan untuk kemudian menjadi aturan yang mengikat semua warga negara Indonesia. Ada sangsi-sangsi tertentu bagi setiap yang melanggarnya. Kedua, DPR—sebagai wakil rakyat—segera menyusun Undang-Undang tentang pornografi. Di sinilah relevansi RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Dalam norma universal itu diharapkan kita menemukan jawaban: Bagaimana norma mengatur kebebasan berekspresi? Adakah pornografi yang sesuai dengan norma universal?

Norma yang Tidak Pandang Bulu
Mengatasnamakan norma universal untuk menentang pornografi dan terbitnya majalah Playboy tidak akan bermakna kalau norma itu berlaku pandang bulu. Artinya, seharusnya norma yang sama secara adil diterapkan kepada berbagai media yang sepadan atau lebih parah dari—umpamanya—media majalah Playboy. Tidak ada parsialitas di sana. Tidak bijak kita "menyerang" dengan keras isu pornografi tertentu, sementara isu pornografi yang lain dibiarkan, sehingga terkesan pandang bulu.
Bahkan, dengan atas norma universal, ada titik bidik lain yang harus kita incar yang lebih keras dari pornografi, misalnya pelanggaran terhadap perampasan hak orang lain, merusak lingkungan, mencuri uang negara, melacurkan agama, dan lain sebagainya. Mana yang paling banyak mendatangkan madarat bagi orang banyak? Kepada yang paling banyak membawakan dampak negatif, kita harus melancarkan "perang" lebih sengit.
Norma tidak pandang bulu berarti pula introspeksi diri. Bayangkan, seandainya ada seseorang yang menyerang habis-habisan pornografi, sementara ia sendiri pada saat yang bersama melanggar norma yang lebih besar dari pornografi. Betapa hipokritnya orang itu. Jangan sampai terjadi CD-CD porno yang dijajakan oleh para pedagang kaki lima, yang mengandalkan mata pencahariannya dari sana, dirampas dan dibakar, sementara CD yang sama atau lebih "panas" diputar dengan bebasnya di kamar-kamar kita. See what's wrong in ourself, not in others!
Pamungkas, mencuatnya isu pornografi dan pornoaksi semoga mengingatkan banyak pihak tentang pentingnya melihat sebuah persoalan dari banyak perspektif, tidak hanya dari satu perspektif. Sekali satu norma sudah disepakati, maka hal itu harus dianut dan dilaksanakan secara konsekuen dan tidak pandang bulu. Mari kita berbuat atas nama kebenaran, bukan atas nama kepentingan. Do with truth, not with vested interest!*** (Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 20 Maret 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar